Senin, 22 Mei 2023

Dampak Daerah Otonomi Baru Terhadap Sosial Ekonomi Orang Asli Papua: Tantangan dan Peluang


Papua, 21 Mei 2023 - Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua telah membawa dampak yang signifikan terhadap sosial ekonomi Orang Asli Papua, yang merupakan penduduk asli dan memiliki kekayaan budaya yang unik. Meskipun pembentukan DOB bertujuan untuk mengembangkan potensi wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun tantangan dan peluang dalam hal sosial ekonomi Orang Asli Papua tetap perlu diperhatikan.

Salah satu tantangan yang dihadapi Orang Asli Papua adalah perubahan dalam struktur sosial dan kehidupan masyarakat. Pembentukan DOB membawa perubahan dalam pola interaksi sosial, sistem nilai budaya, dan tatanan masyarakat tradisional. Perubahan ini dapat memicu ketegangan dan konflik sosial antara kelompok masyarakat yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh peneliti Papua di Kabupaten Jayapura menunjukkan bahwa perubahan ini telah menyebabkan pergeseran dalam pola hubungan sosial dan meningkatnya konflik antar kelompok.

Selain itu, Orang Asli Papua juga menghadapi tantangan dalam hal pemberdayaan ekonomi. Meskipun DOB memberikan otonomi bagi wilayah tersebut, namun masih terdapat kesenjangan ekonomi yang signifikan antara Orang Asli Papua dengan kelompok lain. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di beberapa daerah DOB masih tinggi, dengan Orang Asli Papua menjadi kelompok yang paling rentan. Akses terhadap lapangan kerja yang layak, pelatihan keterampilan, dan modal usaha masih menjadi kendala bagi Orang Asli Papua.

Berikut ini adalah dampak sosial ekonomi terhadap Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua:

1.  Dampak Pertambangan: Salah satu sektor ekonomi yang memiliki dampak signifikan terhadap DOB di Papua adalah sektor pertambangan. Papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama tambang emas, tembaga, dan gas alam. Meskipun pertambangan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun juga berpotensi menghadirkan dampak sosial yang kompleks. Dampak lingkungan, konflik lahan, migrasi penduduk, dan ketimpangan ekonomi merupakan beberapa dampak yang perlu diperhatikan. Penting bagi pemerintah dan perusahaan pertambangan untuk memastikan bahwa keuntungan ekonomi dari sektor ini dialokasikan secara adil dan berkelanjutan, serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal.

2.  Akses Terhadap Layanan Dasar: Salah satu aspek penting dalam pembangunan sosial ekonomi adalah akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan ini di DOB Papua, namun masih terdapat tantangan yang perlu diatasi. Beberapa daerah DOB masih menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan pendidikan yang berkualitas, fasilitas kesehatan yang memadai, dan infrastruktur yang memadai, terutama di daerah terpencil dan terisolasi. Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk berfokus pada peningkatan aksesibilitas dan kualitas layanan dasar ini, terutama bagi masyarakat Orang Asli Papua.

3.  Perubahan Sosial Budaya: Pembentukan DOB di Papua juga membawa dampak perubahan sosial budaya bagi masyarakat Orang Asli Papua. Interaksi dengan kelompok etnis lain, urbanisasi, dan pergeseran nilai-nilai budaya dapat menyebabkan konflik identitas dan ketidakseimbangan sosial. Penting untuk mengakui, menghormati, dan mempromosikan keberagaman budaya Papua, serta memperkuat kehidupan budaya tradisional Orang Asli Papua. Pembentukan DOB harus mengintegrasikan aspek sosial dan budaya yang kuat, serta melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pengembangan wilayah.

4.  Penegakan Hak-Hak Asli Papua: Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi Orang Asli Papua, penting untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hak-hak tanah adat, hak atas sumber daya alam, dan hak partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah beberapa hak yang harus dijamin. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu bekerja sama dengan masyarakat adat untuk mengembangkan kebijakan dan program yang berpihak pada masyarakat Orang Asli Papua dan memastikan bahwa keuntungan dari pengembangan wilayah didistribusikan secara adil.

5.  Ketimpangan Ekonomi: Salah satu dampak yang signifikan dari DOB di Papua adalah ketimpangan ekonomi antara Orang Asli Papua dan kelompok pendatang. Meskipun ada potensi ekonomi yang besar di DOB, Orang Asli Papua masih menghadapi kesenjangan sosial ekonomi yang cukup besar. Mereka seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap kesempatan ekonomi, sumber daya, dan layanan publik. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk kurangnya keterampilan, pendidikan yang rendah, dan ketidakadilan dalam pemberian izin usaha dan pemanfaatan sumber daya alam. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengurangi ketimpangan ekonomi ini, seperti pemberdayaan ekonomi Orang Asli Papua melalui pelatihan keterampilan, akses ke modal usaha, dan dukungan keuangan.

6.  Konflik Sosial: Pembentukan DOB juga telah berdampak pada munculnya konflik sosial di Papua. Konflik ini bisa muncul antara Orang Asli Papua dan kelompok pendatang, maupun antara kelompok etnis Papua yang berbeda. Persaingan atas sumber daya, klaim tanah, dan perbedaan budaya sering kali menjadi pemicu konflik. Konflik sosial ini dapat merusak hubungan antar kelompok dan menghambat pembangunan sosial ekonomi. Penting bagi pemerintah untuk mempromosikan dialog, rekonsiliasi, dan kerjasama antar kelompok masyarakat untuk mengatasi konflik dan membangun kerukunan sosial.

7.  Kerentanan Lingkungan: Pengembangan ekonomi di DOB Papua, terutama dalam sektor pertambangan dan perkebunan, dapat berdampak negatif pada lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran air. Dampak lingkungan ini tidak hanya mengancam keberlanjutan ekonomi jangka panjang, tetapi juga berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat setempat, termasuk Orang Asli Papua. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan aspek keberlanjutan dalam pengembangan ekonomi, memastikan adanya pengelolaan yang bijaksana terhadap sumber daya alam, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan.

8. Pendidikan dan Kualitas Sumber Daya Manusia: Pendidikan yang berkualitas dan pengembangan kualitas sumber daya manusia menjadi faktor kunci dalam meningkatkan sosial ekonomi di DOB Papua. Masih terdapat tantangan dalam akses pendidikan yang merata dan berkualitas bagi Orang Asli Papua. Faktor seperti keterbatasan fasilitas pendidikan, kurangnya guru yang berkualitas, dan rendahnya partisipasi anak Papua dalam pendidikan menjadi hal yang perlu diatasi. Peningkatan investasi dalam pendidikan, termasuk pendidikan formal dan pelatihan keterampilan, serta peningkatan kualitas guru, dapat berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan kesempatan kerja dan kualitas hidup masyarakat Orang Asli Papua.

9.   Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Salah satu upaya penting dalam meningkatkan sosial ekonomi di DOB Papua adalah melalui pemberdayaan ekonomi lokal. Pengembangan sektor ekonomi lokal, seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan kerajinan tangan, dapat memberikan peluang ekonomi yang lebih merata bagi masyarakat lokal. Dalam rangka mencapai hal ini, perlu adanya dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam penyediaan modal usaha, pelatihan keterampilan, akses ke pasar, serta perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya lokal.

Peningkatan aksesibilitas terhadap peluang ekonomi dan pengembangan sektor-sektor potensial perlu menjadi fokus dalam pembangunan DOB. Salah satu contohnya adalah sektor pertanian. Orang Asli Papua memiliki pengetahuan tradisional yang kaya akan pertanian berkelanjutan. Namun, kurangnya akses terhadap pasar, pembiayaan, dan teknologi modern telah menghambat perkembangan sektor pertanian di DOB. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Daniel Imbiri dari Universitas Cenderawasih, disebutkan bahwa pemberdayaan petani Orang Asli Papua melalui pelatihan keterampilan, akses terhadap pasar, dan pembiayaan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi ketergantungan pada sektor informal.

Penting untuk menciptakan peluang ekonomi yang inklusif bagi Orang Asli Papua dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan dan pengelolaan yang bijaksana terhadap sumber daya alam. Pembangunan sektor-sektor ekonomi seperti perikanan dan pariwisata juga memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat ekonomi bagi Orang Asli Papua. Namun, pengembangan sektor ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan partisipasi aktif masyarakat setempat.

Selain itu, pendidikan dan pengembangan keterampilan juga memainkan peran kunci dalam meningkatkan kualitas hidup Orang Asli Papua. Penyediaan akses pendidikan yang berkualitas, pelatihan keterampilan, dan peningkatan literasi digital akan membantu meningkatkan daya saing dan kesempatan kerja bagi Orang Asli Papua. Berdasarkan laporan UNESCO tentang pendidikan di Papua, diketahui bahwa masih terdapat kesenjangan akses pendidikan dan kurangnya guru yang berkualitas di beberapa daerah DOB. Pemerintah dan mitra pengembangan perlu berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan dan kualitas guru di wilayah tersebut.

Dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta sangat penting. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memastikan bahwa pembangunan DOB di Papua memberikan manfaat yang adil dan merata bagi Orang Asli Papua. Kolaborasi yang baik juga telah terbukti berhasil dalam beberapa inisiatif pengembangan ekonomi lokal di DOB Papua, seperti program pelatihan kewirausahaan yang melibatkan komunitas lokal dan lembaga swadaya masyarakat.

Pembentukan DOB di Papua memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Namun, tantangan yang ada juga harus diatasi dengan strategi yang komprehensif dan kolaboratif. Dengan dukungan yang tepat, Papua dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk mencapai pembangunan sosial ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan bagi Orang Asli Papua yang akan datang.

 

Referensi:

Amos, Y. (2021). Perubahan Sosial Pasca Pembentukan Daerah Otonomi Baru di Kabupaten Jayapura, Papua. Jurnal Sosial dan Politik, 24(3), 264-280.

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. (2022). Indikator Ekonomi dan Sosial Provinsi Papua 2021.

Imbiri, D. (2020). Pemberdayaan Petani Orang Asli Papua dalam Pengembangan Sektor Pertanian di Daerah Otonomi Baru. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 16(3), 385-404.

UNESCO. (2019). Education in Papua: Challenges and Strategies for the Future. Jakarta: UNESCO Office Jakarta.

Keesing, D., & Taplin, R. (2018). Mining, the Papua New Guinea Economy and the West Papuan Tragedy. Asia & the Pacific Policy Studies, 5(2), 203-220.

World Bank. (2017). Papua New Guinea Economic Update: Unleashing the Economic Potential of Provinces. Washington, DC: World Bank Group.

Moriarty, P., & Webb-Gannon, C. (2019). Indigenous People and the Extractive Industries in Papua New Guinea: Toward a Rights-Based Approach. Land, 8(11), 176.

Kambuou, R. N. (2017). Socio-Economic Development and the Role of Education in Papua New Guinea. Asia Pacific Education Review, 18(4), 639-648.

Dewantara, B. (2018). The Impact of Mining Development on Indigenous People's Rights in Papua: Case Study of the Freeport Gold Mine. Asia Pacific Journal of Anthropology, 19(5), 442-462.

Ginting, N. (2020). The Development Dilemma in Papua: Indigenous Peoples' Rights and Economic Growth. In H. Y. Satrio & A. Harsono (Eds.), Human Rights and Development in Indonesia (pp. 205-221). Jakarta: Friedrich Naumann Foundation for Freedom.

Human Rights Watch. (2021). "The Sorcerer's Apprentice": How the Indonesian Government Is Undermining the Rights of Indigenous Peoples as It Seeks to Expand Palm Oil in Papua. Retrieved from https://www.hrw.org/report/2021/10/19/sorcerers-apprentice/how-indonesian-government-undermining-rights-indigenous

Kambuou, R. N. (2017). Socio-Economic Development and the Role of Education in Papua New Guinea. Asia Pacific Education Review, 18(4), 639-648.

Keesing, D., & Taplin, R. (2018). Mining, the Papua New Guinea Economy and the West Papuan Tragedy. Asia & the Pacific Policy Studies, 5(2), 203-220.

UNDP. (2019). Human Development Report 2019: Beyond Income, Beyond Averages, Beyond Today—Inequalities in Human Development in the 21st Century. New York: United Nations Development Programme.

Selasa, 28 Maret 2017

Antropolog di Irja (Sekarang Papua), Disayang Juga Dilecehkan

Catatan Dari Arena Sarasehan III Mahasiswa Antropologi Se-Indonesia (I)
(Cenderawasih Pos, Agustus 1993)

Sarasehan III Mahasiswa Antropologi se-Indonesia yang digelar mulai 9 hingga 17 agustus 1993 sangat menarik untuk diikuti. Lebih-lebih sarasehan itu diikuti delapan perguruan tinggi negeri bergengsi di Indonesia. Antara lain Universitas Sumatra Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Indonesia (Jakarta), Unviversitas Padjajaran (Bandung), Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Universitas Udayana (Bali), Universitas Sam Ratulangi (Manado), dan Universitas Cenderawasih (Jayapura). Mulai hari ini cendrawasih Pos menurunkan tulisan tentang Antropologi yang menarik untuk disimak.
“SEBELUM membangun Irian Jaya, kita harus memahami 252 suku pribumi,” Itu kalimat yang sering terdengar. Kalimat demikian berwarna ilmiah, tapi diucapkan tidak saja oleh akademikus dari kampus tapi juga oleh pejabat. Untuk melengkapi kalimat di atas sering juga terucap, “Kita butuhkan pendekatan kebudayaan agar program pembangunan terserap oleh masyarakat.” Pengucapan kalimat demikian, segera mengarahkan ingatan orang pada antropologi. Katanya antropologilah ilmu yang tepat untuk mempelajari “para primitif”.
Barangkali motivasi itu pulalah yang membuat Universitas Cenderawasih memilih antropologi sebagai salah satu Pola Ilmiah Pokok (PIP). Sebab, ke-252 suku tadi merupakan lahan yang tidak akan habis tergarap. Apalagi dijaman modern ini, suku-suku primitif kian punah. Entah, betul-betul punah (seperti suku-suku Indian di Amerika, red) atau pun karena sedang melangkah dari primitif ke modern.
“Ah, sulit untuk membuktikan apakah antropolog dibutuhkan di Irian Jaya.” Ujar Drs. Herry Setitit, alumni Antropologi Uncen. Sebagai bukti Herry yang kini bekerja pada Dinas Pariwisata Tingkat I Irian Jaya mengajukan dua alasan. “Orang Bilang Antropolog dibutuhkan untuk menunjang pembangunan, tapi tiap kali penerimaan pegawai baru, saja antropologi yang diterima tidak pernah lebih dari dua. Bahkan kadang tidak ada sama sekali,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Lanjut Herry, kalaupun diterima jadi pegawai negeri, instansi yang memperkerjakan mereka sangat jarang memanfaatkan skill yang demilikinya. “Misalnya dilibatkan dalam penelitian sebelum perencanaan program dan sebelum pelaksanaan program,” tambahan lebih dari itu Drs Don Flassy., MA yang pernah terlibat dalam penelitian mengatakan, “Kalaupun dilibatkan dalam penelitian, hasilnya jarang dimanfaatkan instansi yang memperkerjakannya.
Antropolog lulusan Leiden (Belanda) ini menambahkan, “Tapi sekarang ada kecenderungan Pemda untuk memanfaatkan hasil penelitian antropolog”.
Hal ini dicontohkan dengan penelitian tentang struktur kemasyarakatan di beberapa desa yang kini telah membuahkan hasil. Berkat penelitian itu, desa-desa telah dimekarkan hingga mencapai lebih dari 2000 desa.
Menurut pantauan, “pelecehan” terhadap antropolog dalam proyek penelitian milik pemda minimal disebabkan dua hal. Pertama, bagi Pemda penelitian itu sendiri sudah merupakan proyek.
Pejabat-pejabat yang ”bermental proyek” tidak suka meloloskan dana proyek untuk dinikmati para antropolog di lapangan. Akibatnya, pejabat yang bersangkutan “memfermak” diri mereka menjadi “antropolog amatir” untuk selanjutnya meneliti sendiri sambil berpesta-ria dengan dana proyek.
Kedua. Para pemilik proyek sulit mempercayakan proyeknya kepada antropolog, mengingat kualitas laporan penelitiannya juga boleh dibilang amatiran. 

Senin, 30 Mei 2016

Antropologi Cinta



Antropologi Cinta, Istilah yang mengada-ada dan memang saya ada-adakan. Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang manusia dan kebudayaannya, sementara cinta adalah uraian perasaaan tentang kasih, sayang. Cinta mau tidak mau, suka tidak suka merupakan hal yang menarik dan indah untuk dimaknai. Setiap manusia punya cinta walaupun kadarnya berbeda-beda. Orang-orang seperti Hitler skalipun memiliki cinta.
Cinta tidak saja dimaknai dengan lawan jenis, namun kepada sesama jenis, sesame manusia dan cinta terhadap bangsa, Negara dll.
Cinta yang sekarang menjadi pusat perhatian adalah cinta terhadap sesama manusia khususnya terhadap lawan jenis. Adalah sebuah naluriah yang manusiawi bila seseorang memiliki cinta dan menjatuhkan cinta pada seseorang lain. Cinta menciptaan kedamaian, cinta membawa ketenangan, cinta membawa kegembiraan.
Namun apa yang terjadi dewasa ini, terkadang karena cinta seseorang bertengkar, saling membunuh, dll dan akhirnya cinta berubah menjadi suatu kebencian. Proses ini mau tidak mau dipengaruhi oleh proses budaya dengan berbgai perubahannya. Perubahan budaya ketimuran yang mulai dipengaruhi budaya barat, paham kesetaraan gender, dll juga mempengaruhi pemaknaan cinta. Masuknya budaya kapitalis dan konsumeris terkadang mempengaruhi cinta. Dahulu cinta dilakukan dengan ketulusan saling memberi, rela susah asal saling cinta, namun sekarang cinta juga membutuhkan uang. Uang akan mempengaruhi kadar cinta seseorang, sehingga ketika uang habis maka boleh jadi cinta juga menipis, karena proses untuk mengkonsumsi berkurang, inilah realita cinta dalam budaya konsumeris.
Perilaku cinta dalam budaya liberalis pun membawa dampak yang cukup banyak dalam realita cinta anak muda. Budaya liberal yang bebas membawa seseorang memaknai cinta secara bebas dengan seenaknya sendiri tanpa peduli norma dan moralitas, free sex menjadi hal yang wajar bahkan sebagian ada yang menganggap dibutuhkan. Budaya inilah yang ternyata mempengaruhi pola perilaku cinta masyarakat Indonesia yang sebenarnya memiliki budaya ketimuran yang kental.
Pengaruh budaya seperti itu sudah mengakar dalam perilaku cinta masyarakat kita (saya bicara yang masih pacaran /belum nikah). Pacaran / cinta dimaknai dengan selalu bersama, bermesraan, dan berbagai hal lain, dan bila tidak seperti itu maka bukan pacaran/saling mencintai. Inilah konstruksi pacaran/cinta sekarang. Sehingga tak jarang pacaran mudah bertengkar, curiga, cemburu, bila tidk bersama dan bila kurang perhatian.
Maknailah cinta dengan ketulusan, kerelaan, dan keikhlasan. Karena sesungguhnya cinta adalah sesuatu yang indah. Berusahalah untuk menjadi orang yang mencintai, karena mencintai merupakan sebuah fluktuasi perasaan dan revolusi hati yang luar biasa yang memunculkan ketulusan, kelembutan, kerelaan, serta keindahan. Sampai-sampai kita tidak peduli apakah orang yang kita cintai mencintai kita. Yang kita pikirkan, kita akan melakukan yang terbaik untuknya dan kebahagiaanya.
Sungguh indah cinta seperti itu, bila setiap orang memaknai cinta demikian maka niscaya pertengkaran dalam cinta akan terminimalisir.
Untuk mendapatkan cinta yang murni, tulus, mulailah dari diri kita sendiri untuk mencintai dengan murni, tulus, yang merupakan bagian dari anugerah Tuhan. Karena terkadang cinta kita terkotori oleh nafsu: nafsu harta, nafsu rupa, nafsu ego. Cobalah mencintai dengan tulus, benar-benar apa adanya.
Inginkah anda menjalani cinta layaknya Habibie mencintai Ibu Ainun, dan Ibu Aninun mencintai Habibie. Indah, penuh ketulusan, dan itu mungkin the real cinta yang berasal dari hati yang bersih. Indah bukan??? Indah sekali… jelas indah donk…
Namun perlu diingat cinta paling tinggi tingkatannya adalah ketika sudah memaknai cinta sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan, kalau kita sudah bisa cinta pada Tuhan dengan sempurna maka cinta akan berada dalam level tertinggi.



 



Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/malikonline/antropologi-cinta_550071ee8133119a17fa782b


Sabtu, 15 Desember 2012

Sebuah Analisa: Kenapa Hukum Tak Berdaya Jika Menghadapi Koruptor ?

Studi kasus Bupati Kepulauan Aru Yang Dilindungi Saat Akan Ditangkap

Membaca 3 berita tentang terpidana koruptor Bupati Kepulauan Aru, Theddy Tengko, entah yang sakti pengacaranya, yakni Yusril Ihza Mahendra, entah karena dilindungi puluhan preman, ada terpidana koruptor yang sudah dinyatakan buron tapi bisa berkeliaran seenaknya, dan saat akan ditangkap bisa menolak dan melawan, bahkan pengacara dengan santai bisa bilang bahwa penangkapan tidak sesuai prosedur.

Yusril menyatakan bahwa penangkapan terpidana korupsi yang saat ini sedang buron itu adalah, bahwa kliennya dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan negeri. Meski putusan pengadilan negeri ini dianulir oleh putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan terpidana bersalah dan dijatuhi hukuman. Atas putusan Mahkamah Agung itu pengadilan negeri setempat melakukan sidang lagi mengkaji putusan MA tersebut dan sidang yang dipimpin majelis hakim (meski hakimnya hakim tunggal) memutuskan bahwa keputusan MA yng menyatakan bahwa terpidana bersalah dan harus dihukum adalah sebuah keputusan yang bisa tidak dijalankan.

Ini tentu mengherankan, masa Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan bahwa terdakwa bersalah karena korupsi dan harus dihukum, dianulir oleh putusan pengadilan negeri yang menyidangkan hasil keputusan MA dan memutuskan bahwa keputrusan MA itu tidak sah atau bisa tidak dilaksanakan.

Lalu untuk apa para koruptor disidangkan sampai tingkat MA, dan dijatuhi hukuman, kalau ternyata pengadilan negeri bisa menyatakan bahwa putusan dan hukuman bisa tidak dijalankan

Maka sebaiknya ada pemeriksaan terhadap para hakim di pengadilan negeri kepulauan aru. ada apa dibalik semua ini?? Karena sejak awal mereka memutus bebas dan setelah MA membatalkan keputusan itu, serta menjatuhkan hukuman pada koruptor, kok berani membuat sidang lagi yang menganalisa putusan MA dan menyatakan putusan MA bisa tidak dijalankan.

Akibatnya, seperti berita yang lain,  saat kejaksaan mau menangkap buron terpidana korupsi, mereka berhadapan dengan pengacara & preman dalam jumlah yang banyak, dan meski banyak para polisi dari Polres Bandara Cengkareng Jakarta (entah mereka di pihak jaksa atau di pihak preman & ikut lindungi borunon sang terpidana korupsi bupati kepulauan Aru Theddy Tengko), akhirnya jaksa milih mundur karena situasi tidak aman bagi keamanan diri jaksa jika mau melaksanakan tugasnya, yakni menangkap buron

Dimana negara?
Apakah masih ada pemerintahan?
Kenapa hanya bisa tegas pada rakyat kecil, yang meski juga banyak kasus rakyat kecil tidak bersalah, tapi negara bisa kompak untuk tegas pada rakyat kecil.
Sedangkan untuk kasus yang melibatkan koruptor kakap dan para pencoleng uang negara, sering kali terkesan negara tidak hadir, seolah tidak ada pemerintahan di negara ini.

Simpati - Sarasehan Mandiri Pemberantas Korupsi

Sabtu, 25 Agustus 2012

Korupsi, Perspektif Antropologi

Amich Alhumami

Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar sehat. Korupsi itu bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan.
Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial. Ini fakta paradoksal sekaligus ironi tak terperi.
Bagaimana ilmu antropologi menjelaskan fenomena sosial yang merisaukan ini? Paling tidak ada tiga penjelasan.
Penjelasan pertama merujuk teori negara patrimonial, yang menempatkan pemimpin dan elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Sebagai pemegang kekuasaan politik, sang penguasa bertindak selaku patron yang membangun hubungan patronase dengan para klien dalam posisi tidak setara. Para klien menjadi subordinasi sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada sang patron. Mereka harus bersedia mengabdi dan melayani sang patron bila ingin mendapat bagian dan akses ke sumber daya ekonomi-politik itu.
Praktik inilah yang berlangsung di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan Indonesia. Di sini terbangun hubungan segi-tiga-tergantung antara anggota DPR, birokrat, dan pengusaha. Anggota DPR selalu mengambil peran sebagai patron, baik bagi birokrat maupun pengusaha, yang selalu diposisikan sebagai klien. Untuk mendapatkan proyek atau aneka kontrak, pengusaha harus bersedia memberi all in services kepada anggota DPR dan birokrat.
Demikian pula birokrat harus melakukan hal sama, memberikan pelayanan prima kepada anggota DPR untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau persetujuan alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kasus Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Faishal, dan para pejabat BI harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa-patronase ini.

Tukar hadiah
Penjelasan kedua merujuk teori gift exchange atau gift-giving dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954). Dalam masyarakat primitif, relasi sosial dan interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat satu sama lain. Mereka membangun hubungan sosial yang bersifat face to face community interactions, tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange) dan memberi bingkisan (gift giving).
Tukar hadiah menggambarkan suatu relasi harmonis di antara anggota masyarakat, melambangkan penghormatan/ penghargaan sesama warga masyarakat, merefleksikan kohesivitas sosial yang kokoh, serta melukiskan kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah.
Adapun pemberian bingkisan juga merupakan simbolisasi civic culture, social virtue, dan public morality di kalangan masyarakat primitif. Bila seseorang diberi hadiah, ia memiliki kewajiban moral untuk membalas pemberian hadiah itu dengan nilai setara sebagai ungkapan penghargaan dan aktualisasi nilai-nilai kebajikan sosial. Ini merupakan bentuk etika sosial yang menandai penghormatan kepada sesama warga masyarakat.
Namun, masyarakat modern membuat ”interpretasi kreatif” dan memberi makna baru tukar hadiah, dengan mengubah pemberian bingkisan menjadi kickback, pay-off, dan buy-off untuk memperlancar segala urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Masyarakat modern telah menyelewengkan fungsi sosial tukar hadiah sebagai instrumen untuk merekatkan hubungan antarwarga masyarakat. Penyelewengan makna pemberian bingkisan menjadi uang suap/uang pelicin jelas bertentangan dengan moralitas publik, etika sosial, dan civic virtue yang berlaku di masyarakat primitif.
Saksikan pemberian hadiah dalam makna baru kini bertebaran di ruang-ruang pertemuan informal di hotel-hotel berbintang, yang melibatkan anggota DPR, aparatur birokrasi, pejabat pemerintah, dan pengusaha yang berkepentingan mendapat proyek pembangunan dan kontrak pekerjaan.

Korupsi
Penjelasan ketiga merujuk teori cultural relativism terkait pengertian korupsi yang merujuk pada nilai-nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat (lihat Haller and Shore, Corruption: Anthropological Perspectives, 2005). Korupsi adalah konsep modern yang muncul dalam wacana modernitas sehingga definisi korupsi bisa saja berlainan dalam konteks budaya masyarakat yang berbeda-beda.
Dalam wacana modernitas, korupsi didefinisikan sebagai misuse of power, of public office, of entrusted authority for private benefits. Dalam pengertian ini, bila seorang pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan atau menyelewengkan otoritas untuk kepentingan pribadi atau mendapat manfaat ekonomi dan keuntungan finansial dari jabatan yang diembannya, itu tergolong korupsi. Ini berbeda dengan pemahaman masyarakat di negara patrimonial saat kekuasaan mengalami personalisasi dan jabatan publik dianggap sebagai milik pribadi.
Dalam konteks budaya negara patrimonial, pengertian korupsi sebagai misuse of power for personal gains sama sekali tak berlaku. Bahkan, di masyarakat tertentu ada anggapan, mengalokasikan sumber daya publik—aset ekonomi produktif, pekerjaan, dan dana publik—kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni merupakan hal yang lumrah karena nilai-nilai budaya yang berlaku adalah personal/communal patrimony. Di sini batasan antara wilayah publik dan pribadi menjadi kabur sehingga korupsi dalam pengertian modern untuk konteks masyarakat demikian menjadi relatif sebagaimana relativitas budaya di masyarakat yang berbeda-beda itu (lihat Akhil Gupta, Blurred Boundaries: The Discourse of Corruption, the Culture of Politics, and the Imagined State, 1995).
Kini, simak ulang 18 modus operandi praktik korupsi di lingkungan pemerintah daerah seperti dilansir Kompas (23/8/2008), yang menunjukkan para pejabat publik mencampuradukkan antara public affairs dan private businesses. Padahal, pemisahan tegas kedua domain/ urusan itu—merujuk tradisi birokrasi Weberian—justru yang mendasari pendefinisian korupsi dalam wacana modernitas. Sungguh, imajinasi negara modern yang merujuk prinsip legal-rasional-kontraktual amat jauh dari alam pikiran para pejabat publik di Indonesia.
Amich Alhumami Sedang Riset untuk Disertasi ”Political Power, Corruption, and Witchcraft in Contemporary Indonesia”. Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
Senin, 15 Desember 2008 | 00:13 WIB
http://cetak.kompas.com

Selasa, 24 Januari 2012

5 Kebiasaan Khusus Bloggers

Aktivitas Blogging ternyata bukan hanya sekedar hobi ataupun tuntutan pekerjaan. Dibalik semua kegiatan perbloggingan yang kita lakukan, banyak sekali manfaat yang akan kita peroleh. Meskipun kenyataannya, masih banyak orang yang tidak menyadari akan hal itu. Manfaat-manfaat  itu nantinya akan menjadi modal yang bagus dan menjadi kelebihan yang hanya dimiliki oleh seorang “blogger sejati”. So, Berbanggalah kalian Sobat Blogger yang menjadi seorang “Blogger Sejati”.  Mengapa “Blogger Sejati” ? karena hanya blogger-blogger yang menulis dengan kemampuannya sendiri yang memiliki kelebihan ini, bukan bloggers yang suka comot artikel orang, hehe. And the last, Inilah 5 kelebihan yang umumnya dimiliki oleh seorang Blogger dan tidak dimiliki orang lain.


1. Memiliki Kebiasaan Membaca
Yap benar, Membaca adalah kunci kesuksesan. Seperti yang kita ketahui , bahwa orang-orang di Jepang memiliki kebiasaan membaca, sehingga tak heran banyak ditemukan orang pintar disana. Sama halnya dengan para Blogger (sejati), untuk dapat membuat suatu tulisan yang bermutu sekaligus berbobot mereka perlu sumber alias perlu referensi bukan ? nah dalam proses riset yang mau ditulis oleh para blogger itu mereka tentu saja harus membaca!. Entah itu buku, artikel lama, koran, majalah ataupun sumber lainnya. Sehingga mustahil seorang Blogger tidak memiliki kebiasaan membaca.

2.Lebih Up-to-date
Inilah dampak tidak langsung dari membaca berbagai sumber informasi . Para Blogger menjadi terbiasa untuk terus memantau perkembangan-perkembangan informasi yang terjadi. Sehingga mayoritas Bloggers aku jamin orangnya Up-to-date. Bloggers ga up-to-date ? apa kata duniaaa….

3. Memiliki Banyak Ilmu
Sebagai orang awam yang masih baru dalam dunia blogging, aku ngga tahu menahu soal tips dan trik SEO, sehingga aku biasanya melakukan blogwalking untuk mempromosikan blogku ini. Nah dalam aktivitas blogwalking itu, biasanya aku berkunjung ke blog temen-temenku. Bayangkan aja jika aku sehari berkunjung ke 30 situs yang berbeda bahkan bisa lebih kalau hari libur dan banyak waktu! Dan di setiap situs itu menampilkan informasi-informasi yang berbeda-beda. Bagaimana Sobat Blogger? tentu akan banyak sekali informasi dan ilmu yang akan kita dapatkan, bukan ? Apalagi para pakar-pakar SEO atau pun owner blog tutorial, so pasti mereka memiliki ilmu yang bejibun di kepala mereka, hihi

4. Lebih Kreatif
Seperti yang aku bilang diatas, bahwa kelebihan-kelebihan ini mungkin hanya dimiliki oleh Bloggers yang sesungguhnya, bukan yang sukanya copy-paste artikel orang. Lebih Kreatif, itulah kelebihan lainnya yang dimiliki Bloggers. Bagaimana tidak ? para Bloggers tentu saja harus berpikir bagaimana agar tulisannya bisa menarik, enak dibaca, dan tidak membosankan. Mereka juga harus memikirkan bagaimana agar banyak pengunjung datang ke blog mereka, mereka juga selalu memikirkan bagaimana agar blognya lebih dikenal dan berbagai macam problem dalam dunia blog yang pasti mereka pikirkan. Dengan berbagai macam hal yang dipikirkan itu serta ditambah lagi persaingan di dunia blog yang tidak mudah, mereka dituntut untuk kreatif. Mereka dituntut untuk memberikan sesuatu yang berbeda, sehingga inovasi-inovasi baru memang sangat dibutuhkan. Secara tidak sadar, atmosfer persaingan itu akan menjadikan para Bloggers menjadi lebih kreatif.

5.Suka Tantangan
Aku bingung mau ngasi judul apa yang pas buat poin nomer 5 ini. Tapi mungkin “suka tantangan” udah lumayan ..hehe. Suka tantangan disini bukan berarti suka climbing, panjat pohon, traveling dan menjelajah alam. Suka tantangan disini lebih kepada mencoba hal-hal yang baru. Ini aku alami sendiri ketika pertama kali membuat blog, aku berpikir dalam hati, bisa ngga ya blogku nanti kaya blog ini. Ada sensasi tersendiri loh ketika blog yang kita kelola mengalami peningkatan. Tetapi, namanya manusia, emang ngga pernah puas. Setelah menguasai coding HTML dan menghias tema blog misalnya, kepingin belajar SEO, setelah bisa SEO pengen bisa dapet duit dari internet, begitu setererusnya. Nah keinginan untuk bisa belajar sesuatu yang baru, untuk bisa menyelesaikan masalah yang baru itulah yang disebut dengan “Suka Tantangan”. Mungkin ngga semua Sobat Blogger setuju sama pendapatku diatas, “aku buat blog cuma buat hobi aja kok, buat tempat menuliskan tulisanku yang ngga perlu optimasi SEO” apakah orang tersebut masih dianggap memiliki jiwa Suka Tantangan seorang Blogger. Tentu ! masa ngga kepingin seih tulisannya berkembang dan dilirik sama penerbit, hehe ^^

Mungkin ngga semua Bloggers mutlak memiliki ke-5 kelebihan diatas, tulisan diatas ditulis menurut pendapatku dengan sedikit riset, jadi mohon dimaklumi apabila ada kesalahan, hehe *melas. Oh iya, kalo mau ngasih masukan boleh kok, tingalin aja koment dibawah, aku menerima semua masukan kok. segitu dulu aja kali ya pendapatku tentang kelebihan yang dimiliki oleh seorang bloggers yang nnga dimiliki oleh orang biasa. See yo next time Sobat Blogger! Bye !

Rabu, 21 September 2011

Refleksi sejarah: Pertanian dan Antropologi

Di masa lampau, sekitar dasawarsa 70-an dan 80-an, orientasi pengembangan program-program Uncen mengacu kepada pengembangan tanaman-tanaman pertanian asli (ubi jalar, talas dsb.) yang inherent dengan pembangunan pedesaan (suku-suku asli Papua di kampung-kampung pedalaman). Hal tersebut tersirat dan tersurat jelas dalam Pola Ilmiah Pokok (PIP) Universitas Cenderawasih pada waktu itu yaitu Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian. Sejak awal pembangunan Tanah Papua, telah diketahui pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang perlu dijabarkan bersama-sama dengan Kajian-kajian Pertanian  dalam rangka meningkatkan taraf hidup Masyarakat Asli di Papua.  
Relevansi dan implikasi Antropologi dan Pertanian dalam Pembangunan Tanah Papua dijelaskan dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987), pada Bab Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000  (1987) oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31) yang saya kutip:
 " ............  Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut mewarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya. 
 Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya berjauhan dan kondisi sosio-budaya penduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam ….
 Berkaitan dengan prevalensi pertanian bahan pangan asli Papua (ubijalar, keladi dan sagu) pada masa itu Universitas Cenderawasih menyelenggarakan berbagai kegiatan di mana Institut Pertanian Bogor turut berperan.  Dapat dikisahkan antara lain hal-hal berikut. 
Salah seorang peneliti dari IPB, Sdr Dr Ir Fred Rumawas, terlibat dalam penelitian pemuliaan tanaman petatas (ubi jalar) di daratan tinggi Baliem, dalam upaya memperoleh strain  ubi jalar yang lebih  tinggi kandungan proteinnya (> 3 persen).  Hipotesis bahwa petatas di dataran tinggi (800 - 1600 m dpl.) merupakan makanan pokok orang asli Papua sedangkan tidak ada jenis makanan sumber protein lainnya, kecuali ternak babi yang hanya dikonsumsi pada peristiwa-peristiwa khusus. Hal ini berarti penduduk pedalaman dataran tinggi Baliem sebagian besar mengandalkan protein dalam gizinya dari kandungan protein dalam ubi jalar. 
Selanjutnya, staf Uncen Manokwari (sekarang UNIPA) Sdr Dr Ir Sunarto (S2 dari Agronomi IPB), lebih mengkhususkan penelitiannya kepada jenis-jenis kastela (keladi), makanan pokok orang asli Papua yang hidup di lereng-lereng pada ketinggian 300 – 800 m dpl.
Di dataran rendah, daerah pantai dan rawa (< 300 m dpl.). sagu dianggap sangat penting karena merupakan makanan pokok bagi penduduk asli Papua.  Banyak di antara peneliti Uncen Jayapura maupun Uncen Manokwari terlibat dalam kajian-kajian masalah sagu, baik dari aspek sosio-antropologi, maupun teknis pertaniannya.  Proyek Sagu Nasional di era Prof Dr B J Habibie menjabat Menristek, berdasarkan survei-survei yang dilakukan pada masa itu menempatkan Papua sebagai daerah yang memiliki potensi sagu paling besar di Indonesia, diikuti propinsi Riau.  Proyek sagu ini diketuai oleh Prof Dr Achmad Satari (mantan Rektor IPB).  
Arsip Agrarisch Proefstation Manokwari (sekarang menjadi bagian dari Universitas Papua) menunjukkan bahwa peneliti pertanian Belanda pada masa penjajahan telah mencanangkan ”polder plan rice estate” di daerah Merauke pada awal dasawarsa 1960-an. Di dataran rendah Merauke juga di masa Gubernur (Almarhum) Drs Busiri (tahun 1980-an) pernah direncanakan pembangunan perkebunan tebu, karena keadaan iklim musimnya (monsoon) dan topografi yang cocok untuk itu.
Penelitian Antropologi dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan dilakukan di banyak daerah pedalaman Tanah Papua oleh tenaga UNCEN-SIL (kerjasama Universitas Cenderawasih dengan The Summer Institute of Linguistics, 1976 – 1990).    
Itulah sekilas lintasan masa lampau -- kiprah pembangunan yang dilakoni Universitas Cenderawasih yang saya anggap perlu diungkap – bukan untuk rujukan atau acuan kita  melangkah ke depan tetapi  sebagai bagian dari catatan sejarah pembangunan Tanah Papua. Pembangunan adalah perubahan dan kita tidak perlu merujuk masa lampau, tapi kita tetap bertumpu pada apa yang  telah dimulai.
Kini keberhasilan pembangunan di Tanah Papua sudah mulai tampak walaupun mungkin masih sangat jauh dari harapan. Hal yang menonjol terutama adalah peran putra daerah dalam kepemimpinan yang semakin prevalen, suasana perkotaan semakin ramai dan tampak lebih baik kondisi ekonominya, namun masyarakat rural di kampung-kampung pedalaman masih belum banyak terjamah pembangunan.  Inilah kenyataan yang menjadi perhatian utama kita – bagaimana memberdayakan masyarakat rural yang miskin, menjadikan mereka warga yang industrious dan mandiri.