Catatan Dari Arena Sarasehan III Mahasiswa Antropologi
Se-Indonesia (I)
(Cenderawasih Pos, Agustus 1993)
Sarasehan III Mahasiswa
Antropologi se-Indonesia yang digelar mulai 9 hingga 17 agustus 1993 sangat
menarik untuk diikuti. Lebih-lebih sarasehan itu diikuti delapan perguruan
tinggi negeri bergengsi di Indonesia. Antara lain Universitas Sumatra Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang),
Universitas Indonesia (Jakarta), Unviversitas Padjajaran (Bandung), Universitas
Gajah Mada (Yogyakarta), Universitas Udayana (Bali), Universitas Sam Ratulangi
(Manado), dan Universitas Cenderawasih (Jayapura). Mulai hari ini cendrawasih
Pos menurunkan tulisan tentang Antropologi yang menarik untuk disimak.
“SEBELUM
membangun Irian Jaya, kita harus memahami 252 suku pribumi,” Itu kalimat yang
sering terdengar. Kalimat demikian berwarna ilmiah, tapi diucapkan tidak saja
oleh akademikus dari kampus tapi juga oleh pejabat. Untuk melengkapi kalimat di
atas sering juga terucap, “Kita butuhkan pendekatan kebudayaan agar program
pembangunan terserap oleh masyarakat.” Pengucapan kalimat demikian, segera
mengarahkan ingatan orang pada antropologi. Katanya antropologilah ilmu yang
tepat untuk mempelajari “para primitif”.
Barangkali
motivasi itu pulalah yang membuat Universitas Cenderawasih memilih antropologi
sebagai salah satu Pola Ilmiah Pokok (PIP). Sebab, ke-252 suku tadi merupakan
lahan yang tidak akan habis tergarap. Apalagi dijaman modern ini, suku-suku
primitif kian punah. Entah, betul-betul punah (seperti suku-suku Indian di
Amerika, red) atau pun karena sedang melangkah dari primitif ke modern.
“Ah, sulit
untuk membuktikan apakah antropolog dibutuhkan di Irian Jaya.” Ujar Drs. Herry
Setitit, alumni Antropologi Uncen. Sebagai bukti Herry yang kini bekerja pada
Dinas Pariwisata Tingkat I Irian Jaya mengajukan dua alasan. “Orang Bilang
Antropolog dibutuhkan untuk menunjang pembangunan, tapi tiap kali penerimaan
pegawai baru, saja antropologi yang diterima tidak pernah lebih dari dua. Bahkan
kadang tidak ada sama sekali,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Lanjut Herry, kalaupun
diterima jadi pegawai negeri, instansi yang memperkerjakan mereka sangat jarang
memanfaatkan skill yang demilikinya. “Misalnya dilibatkan dalam penelitian
sebelum perencanaan program dan sebelum pelaksanaan program,” tambahan lebih
dari itu Drs Don Flassy., MA yang pernah terlibat dalam penelitian mengatakan, “Kalaupun
dilibatkan dalam penelitian, hasilnya jarang dimanfaatkan instansi yang
memperkerjakannya.
Antropolog lulusan
Leiden (Belanda) ini menambahkan, “Tapi sekarang ada kecenderungan Pemda untuk
memanfaatkan hasil penelitian antropolog”.
Hal ini
dicontohkan dengan penelitian tentang struktur kemasyarakatan di beberapa desa
yang kini telah membuahkan hasil. Berkat penelitian itu, desa-desa telah
dimekarkan hingga mencapai lebih dari 2000 desa.
Menurut pantauan,
“pelecehan” terhadap antropolog dalam proyek penelitian milik pemda minimal
disebabkan dua hal. Pertama, bagi Pemda
penelitian itu sendiri sudah merupakan proyek.
Pejabat-pejabat
yang ”bermental proyek” tidak suka meloloskan dana proyek untuk dinikmati para
antropolog di lapangan. Akibatnya, pejabat yang bersangkutan “memfermak” diri
mereka menjadi “antropolog amatir” untuk selanjutnya meneliti sendiri sambil
berpesta-ria dengan dana proyek.
Kedua. Para pemilik proyek sulit mempercayakan proyeknya
kepada antropolog, mengingat kualitas laporan penelitiannya juga boleh dibilang
amatiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar