Look at Me, I'm Free.....!!!

Subscribe Us

... ...

Selasa, 28 Maret 2017

Antropolog di Irja (Sekarang Papua), Disayang Juga Dilecehkan

Catatan Dari Arena Sarasehan III Mahasiswa Antropologi Se-Indonesia (I)
(Cenderawasih Pos, Agustus 1993)

Sarasehan III Mahasiswa Antropologi se-Indonesia yang digelar mulai 9 hingga 17 agustus 1993 sangat menarik untuk diikuti. Lebih-lebih sarasehan itu diikuti delapan perguruan tinggi negeri bergengsi di Indonesia. Antara lain Universitas Sumatra Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Indonesia (Jakarta), Unviversitas Padjajaran (Bandung), Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Universitas Udayana (Bali), Universitas Sam Ratulangi (Manado), dan Universitas Cenderawasih (Jayapura). Mulai hari ini cendrawasih Pos menurunkan tulisan tentang Antropologi yang menarik untuk disimak.
“SEBELUM membangun Irian Jaya, kita harus memahami 252 suku pribumi,” Itu kalimat yang sering terdengar. Kalimat demikian berwarna ilmiah, tapi diucapkan tidak saja oleh akademikus dari kampus tapi juga oleh pejabat. Untuk melengkapi kalimat di atas sering juga terucap, “Kita butuhkan pendekatan kebudayaan agar program pembangunan terserap oleh masyarakat.” Pengucapan kalimat demikian, segera mengarahkan ingatan orang pada antropologi. Katanya antropologilah ilmu yang tepat untuk mempelajari “para primitif”.
Barangkali motivasi itu pulalah yang membuat Universitas Cenderawasih memilih antropologi sebagai salah satu Pola Ilmiah Pokok (PIP). Sebab, ke-252 suku tadi merupakan lahan yang tidak akan habis tergarap. Apalagi dijaman modern ini, suku-suku primitif kian punah. Entah, betul-betul punah (seperti suku-suku Indian di Amerika, red) atau pun karena sedang melangkah dari primitif ke modern.
“Ah, sulit untuk membuktikan apakah antropolog dibutuhkan di Irian Jaya.” Ujar Drs. Herry Setitit, alumni Antropologi Uncen. Sebagai bukti Herry yang kini bekerja pada Dinas Pariwisata Tingkat I Irian Jaya mengajukan dua alasan. “Orang Bilang Antropolog dibutuhkan untuk menunjang pembangunan, tapi tiap kali penerimaan pegawai baru, saja antropologi yang diterima tidak pernah lebih dari dua. Bahkan kadang tidak ada sama sekali,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Lanjut Herry, kalaupun diterima jadi pegawai negeri, instansi yang memperkerjakan mereka sangat jarang memanfaatkan skill yang demilikinya. “Misalnya dilibatkan dalam penelitian sebelum perencanaan program dan sebelum pelaksanaan program,” tambahan lebih dari itu Drs Don Flassy., MA yang pernah terlibat dalam penelitian mengatakan, “Kalaupun dilibatkan dalam penelitian, hasilnya jarang dimanfaatkan instansi yang memperkerjakannya.
Antropolog lulusan Leiden (Belanda) ini menambahkan, “Tapi sekarang ada kecenderungan Pemda untuk memanfaatkan hasil penelitian antropolog”.
Hal ini dicontohkan dengan penelitian tentang struktur kemasyarakatan di beberapa desa yang kini telah membuahkan hasil. Berkat penelitian itu, desa-desa telah dimekarkan hingga mencapai lebih dari 2000 desa.
Menurut pantauan, “pelecehan” terhadap antropolog dalam proyek penelitian milik pemda minimal disebabkan dua hal. Pertama, bagi Pemda penelitian itu sendiri sudah merupakan proyek.
Pejabat-pejabat yang ”bermental proyek” tidak suka meloloskan dana proyek untuk dinikmati para antropolog di lapangan. Akibatnya, pejabat yang bersangkutan “memfermak” diri mereka menjadi “antropolog amatir” untuk selanjutnya meneliti sendiri sambil berpesta-ria dengan dana proyek.
Kedua. Para pemilik proyek sulit mempercayakan proyeknya kepada antropolog, mengingat kualitas laporan penelitiannya juga boleh dibilang amatiran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar