Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Mei 2023

Dampak Daerah Otonomi Baru Terhadap Sosial Ekonomi Orang Asli Papua: Tantangan dan Peluang


Papua, 21 Mei 2023 - Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua telah membawa dampak yang signifikan terhadap sosial ekonomi Orang Asli Papua, yang merupakan penduduk asli dan memiliki kekayaan budaya yang unik. Meskipun pembentukan DOB bertujuan untuk mengembangkan potensi wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun tantangan dan peluang dalam hal sosial ekonomi Orang Asli Papua tetap perlu diperhatikan.

Salah satu tantangan yang dihadapi Orang Asli Papua adalah perubahan dalam struktur sosial dan kehidupan masyarakat. Pembentukan DOB membawa perubahan dalam pola interaksi sosial, sistem nilai budaya, dan tatanan masyarakat tradisional. Perubahan ini dapat memicu ketegangan dan konflik sosial antara kelompok masyarakat yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh peneliti Papua di Kabupaten Jayapura menunjukkan bahwa perubahan ini telah menyebabkan pergeseran dalam pola hubungan sosial dan meningkatnya konflik antar kelompok.

Selain itu, Orang Asli Papua juga menghadapi tantangan dalam hal pemberdayaan ekonomi. Meskipun DOB memberikan otonomi bagi wilayah tersebut, namun masih terdapat kesenjangan ekonomi yang signifikan antara Orang Asli Papua dengan kelompok lain. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di beberapa daerah DOB masih tinggi, dengan Orang Asli Papua menjadi kelompok yang paling rentan. Akses terhadap lapangan kerja yang layak, pelatihan keterampilan, dan modal usaha masih menjadi kendala bagi Orang Asli Papua.

Berikut ini adalah dampak sosial ekonomi terhadap Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua:

1.  Dampak Pertambangan: Salah satu sektor ekonomi yang memiliki dampak signifikan terhadap DOB di Papua adalah sektor pertambangan. Papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama tambang emas, tembaga, dan gas alam. Meskipun pertambangan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun juga berpotensi menghadirkan dampak sosial yang kompleks. Dampak lingkungan, konflik lahan, migrasi penduduk, dan ketimpangan ekonomi merupakan beberapa dampak yang perlu diperhatikan. Penting bagi pemerintah dan perusahaan pertambangan untuk memastikan bahwa keuntungan ekonomi dari sektor ini dialokasikan secara adil dan berkelanjutan, serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal.

2.  Akses Terhadap Layanan Dasar: Salah satu aspek penting dalam pembangunan sosial ekonomi adalah akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan ini di DOB Papua, namun masih terdapat tantangan yang perlu diatasi. Beberapa daerah DOB masih menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan pendidikan yang berkualitas, fasilitas kesehatan yang memadai, dan infrastruktur yang memadai, terutama di daerah terpencil dan terisolasi. Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk berfokus pada peningkatan aksesibilitas dan kualitas layanan dasar ini, terutama bagi masyarakat Orang Asli Papua.

3.  Perubahan Sosial Budaya: Pembentukan DOB di Papua juga membawa dampak perubahan sosial budaya bagi masyarakat Orang Asli Papua. Interaksi dengan kelompok etnis lain, urbanisasi, dan pergeseran nilai-nilai budaya dapat menyebabkan konflik identitas dan ketidakseimbangan sosial. Penting untuk mengakui, menghormati, dan mempromosikan keberagaman budaya Papua, serta memperkuat kehidupan budaya tradisional Orang Asli Papua. Pembentukan DOB harus mengintegrasikan aspek sosial dan budaya yang kuat, serta melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pengembangan wilayah.

4.  Penegakan Hak-Hak Asli Papua: Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi Orang Asli Papua, penting untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hak-hak tanah adat, hak atas sumber daya alam, dan hak partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah beberapa hak yang harus dijamin. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu bekerja sama dengan masyarakat adat untuk mengembangkan kebijakan dan program yang berpihak pada masyarakat Orang Asli Papua dan memastikan bahwa keuntungan dari pengembangan wilayah didistribusikan secara adil.

5.  Ketimpangan Ekonomi: Salah satu dampak yang signifikan dari DOB di Papua adalah ketimpangan ekonomi antara Orang Asli Papua dan kelompok pendatang. Meskipun ada potensi ekonomi yang besar di DOB, Orang Asli Papua masih menghadapi kesenjangan sosial ekonomi yang cukup besar. Mereka seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap kesempatan ekonomi, sumber daya, dan layanan publik. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk kurangnya keterampilan, pendidikan yang rendah, dan ketidakadilan dalam pemberian izin usaha dan pemanfaatan sumber daya alam. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengurangi ketimpangan ekonomi ini, seperti pemberdayaan ekonomi Orang Asli Papua melalui pelatihan keterampilan, akses ke modal usaha, dan dukungan keuangan.

6.  Konflik Sosial: Pembentukan DOB juga telah berdampak pada munculnya konflik sosial di Papua. Konflik ini bisa muncul antara Orang Asli Papua dan kelompok pendatang, maupun antara kelompok etnis Papua yang berbeda. Persaingan atas sumber daya, klaim tanah, dan perbedaan budaya sering kali menjadi pemicu konflik. Konflik sosial ini dapat merusak hubungan antar kelompok dan menghambat pembangunan sosial ekonomi. Penting bagi pemerintah untuk mempromosikan dialog, rekonsiliasi, dan kerjasama antar kelompok masyarakat untuk mengatasi konflik dan membangun kerukunan sosial.

7.  Kerentanan Lingkungan: Pengembangan ekonomi di DOB Papua, terutama dalam sektor pertambangan dan perkebunan, dapat berdampak negatif pada lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran air. Dampak lingkungan ini tidak hanya mengancam keberlanjutan ekonomi jangka panjang, tetapi juga berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat setempat, termasuk Orang Asli Papua. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan aspek keberlanjutan dalam pengembangan ekonomi, memastikan adanya pengelolaan yang bijaksana terhadap sumber daya alam, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan.

8. Pendidikan dan Kualitas Sumber Daya Manusia: Pendidikan yang berkualitas dan pengembangan kualitas sumber daya manusia menjadi faktor kunci dalam meningkatkan sosial ekonomi di DOB Papua. Masih terdapat tantangan dalam akses pendidikan yang merata dan berkualitas bagi Orang Asli Papua. Faktor seperti keterbatasan fasilitas pendidikan, kurangnya guru yang berkualitas, dan rendahnya partisipasi anak Papua dalam pendidikan menjadi hal yang perlu diatasi. Peningkatan investasi dalam pendidikan, termasuk pendidikan formal dan pelatihan keterampilan, serta peningkatan kualitas guru, dapat berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan kesempatan kerja dan kualitas hidup masyarakat Orang Asli Papua.

9.   Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Salah satu upaya penting dalam meningkatkan sosial ekonomi di DOB Papua adalah melalui pemberdayaan ekonomi lokal. Pengembangan sektor ekonomi lokal, seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan kerajinan tangan, dapat memberikan peluang ekonomi yang lebih merata bagi masyarakat lokal. Dalam rangka mencapai hal ini, perlu adanya dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam penyediaan modal usaha, pelatihan keterampilan, akses ke pasar, serta perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya lokal.

Peningkatan aksesibilitas terhadap peluang ekonomi dan pengembangan sektor-sektor potensial perlu menjadi fokus dalam pembangunan DOB. Salah satu contohnya adalah sektor pertanian. Orang Asli Papua memiliki pengetahuan tradisional yang kaya akan pertanian berkelanjutan. Namun, kurangnya akses terhadap pasar, pembiayaan, dan teknologi modern telah menghambat perkembangan sektor pertanian di DOB. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Daniel Imbiri dari Universitas Cenderawasih, disebutkan bahwa pemberdayaan petani Orang Asli Papua melalui pelatihan keterampilan, akses terhadap pasar, dan pembiayaan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi ketergantungan pada sektor informal.

Penting untuk menciptakan peluang ekonomi yang inklusif bagi Orang Asli Papua dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan dan pengelolaan yang bijaksana terhadap sumber daya alam. Pembangunan sektor-sektor ekonomi seperti perikanan dan pariwisata juga memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat ekonomi bagi Orang Asli Papua. Namun, pengembangan sektor ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan partisipasi aktif masyarakat setempat.

Selain itu, pendidikan dan pengembangan keterampilan juga memainkan peran kunci dalam meningkatkan kualitas hidup Orang Asli Papua. Penyediaan akses pendidikan yang berkualitas, pelatihan keterampilan, dan peningkatan literasi digital akan membantu meningkatkan daya saing dan kesempatan kerja bagi Orang Asli Papua. Berdasarkan laporan UNESCO tentang pendidikan di Papua, diketahui bahwa masih terdapat kesenjangan akses pendidikan dan kurangnya guru yang berkualitas di beberapa daerah DOB. Pemerintah dan mitra pengembangan perlu berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan dan kualitas guru di wilayah tersebut.

Dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta sangat penting. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memastikan bahwa pembangunan DOB di Papua memberikan manfaat yang adil dan merata bagi Orang Asli Papua. Kolaborasi yang baik juga telah terbukti berhasil dalam beberapa inisiatif pengembangan ekonomi lokal di DOB Papua, seperti program pelatihan kewirausahaan yang melibatkan komunitas lokal dan lembaga swadaya masyarakat.

Pembentukan DOB di Papua memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Namun, tantangan yang ada juga harus diatasi dengan strategi yang komprehensif dan kolaboratif. Dengan dukungan yang tepat, Papua dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk mencapai pembangunan sosial ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan bagi Orang Asli Papua yang akan datang.

 

Referensi:

Amos, Y. (2021). Perubahan Sosial Pasca Pembentukan Daerah Otonomi Baru di Kabupaten Jayapura, Papua. Jurnal Sosial dan Politik, 24(3), 264-280.

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. (2022). Indikator Ekonomi dan Sosial Provinsi Papua 2021.

Imbiri, D. (2020). Pemberdayaan Petani Orang Asli Papua dalam Pengembangan Sektor Pertanian di Daerah Otonomi Baru. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 16(3), 385-404.

UNESCO. (2019). Education in Papua: Challenges and Strategies for the Future. Jakarta: UNESCO Office Jakarta.

Keesing, D., & Taplin, R. (2018). Mining, the Papua New Guinea Economy and the West Papuan Tragedy. Asia & the Pacific Policy Studies, 5(2), 203-220.

World Bank. (2017). Papua New Guinea Economic Update: Unleashing the Economic Potential of Provinces. Washington, DC: World Bank Group.

Moriarty, P., & Webb-Gannon, C. (2019). Indigenous People and the Extractive Industries in Papua New Guinea: Toward a Rights-Based Approach. Land, 8(11), 176.

Kambuou, R. N. (2017). Socio-Economic Development and the Role of Education in Papua New Guinea. Asia Pacific Education Review, 18(4), 639-648.

Dewantara, B. (2018). The Impact of Mining Development on Indigenous People's Rights in Papua: Case Study of the Freeport Gold Mine. Asia Pacific Journal of Anthropology, 19(5), 442-462.

Ginting, N. (2020). The Development Dilemma in Papua: Indigenous Peoples' Rights and Economic Growth. In H. Y. Satrio & A. Harsono (Eds.), Human Rights and Development in Indonesia (pp. 205-221). Jakarta: Friedrich Naumann Foundation for Freedom.

Human Rights Watch. (2021). "The Sorcerer's Apprentice": How the Indonesian Government Is Undermining the Rights of Indigenous Peoples as It Seeks to Expand Palm Oil in Papua. Retrieved from https://www.hrw.org/report/2021/10/19/sorcerers-apprentice/how-indonesian-government-undermining-rights-indigenous

Kambuou, R. N. (2017). Socio-Economic Development and the Role of Education in Papua New Guinea. Asia Pacific Education Review, 18(4), 639-648.

Keesing, D., & Taplin, R. (2018). Mining, the Papua New Guinea Economy and the West Papuan Tragedy. Asia & the Pacific Policy Studies, 5(2), 203-220.

UNDP. (2019). Human Development Report 2019: Beyond Income, Beyond Averages, Beyond Today—Inequalities in Human Development in the 21st Century. New York: United Nations Development Programme.

Minggu, 03 Juli 2011

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA JURUSAN ANTROPOLOGI UNCEN

Buku Kenangan Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih 62-87  (Jayapura, 1987). Universitas Cenderawasih (disingkat UNCEN) didirikan pada tanggal 10 November 1962 di Kotabaru (Jayapura sekarang) didasarkan atas Keputusan bersama WAMPA/Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962 tanggal 10 November 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 389 tanggal 31 Desember 1962. Pada waktu didirikan Universitas Cenderawasi terdiri atas dua Fakultas,  pertama Fakultas Hukum Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (disingkat FHKK) dengan jurusan: Hukum, Ketatanegaraan dan Ketataniagaan. Sedangkan Fakultas yang kedua adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (disingkat FKIP) yang memiliki Jurusan Bahasa,dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris dsb. Pada tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Keputusan Menteri PTIP nomor 82 tanggal 20 Juli 1963,  di lingkungan Universitas Cenderawasih telah dibuka sebuah Lembaga yang setingkat dengan Fakultas, yaitu Lembaga Antropologi (disingkat LA) yang mempunyai bagian: Penelitian, Perpustakaan, Permuseuman, Pendidikan dan Tatausaha. 
Pada tanggal 5 Oktober 1964 di lingkungan Universitas Cenderawasih dibuka Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan  (disingkat FPPK) berkedudukan di Manokwari ddengan pertimbangan bahwa Manokwari mempunyai daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian di samping telah ada Lembaga Penelitian dan Pendidikan Pertanian Manokwari (LP3M) yang didirikan  Pemerintah Belanda pada tahun 1961 (Agrarisch Proefstation Manokwari). LP3M ini kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 60/GIJ/1978, sejak tahun 1978 diintegrasikan ke dalam Universitas Cenderawasih.  
Dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987)" tersebut, karena pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang memang sejak dahulu sudah diidentifikasi, dan sampai sekarang kita masih perlu menjabarkannya dalam Kajian-kajian Pengembangan Masyarakat Asli di Papua. 
"Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut diwarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya.  Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis terdapat di daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya seringkali berjauhan dan kondisi sosio-budaya prnduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam agar unsur-unsur budaya ini kelak dapat lebih dimanfaatkan untuk pembangunan negara. "   dari: Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000, oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31. --  1987 op. cit.)
Antropologi sebagai salah satu program studi di Universitas Cenderawasih dimulai pada tahun 1978, dibuka berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor : P-03/A1/1978 pada tanggal 9 Januari 1978. Program Studi yang akan mendidik dan melatih calon-calon peneliti dalam bidang Antropologi untuk mengisi kekurangan tenaga peneliti di daerah Irian jaya. Dengan beberapa pertimbangan kemudian program studi tersebut berubah menjadi program studi sampai tingkat Sarjana Muda sesuai dengan Universitas yang pada waktu itu masih Tergolong Universitas Muda.
Mula-mula program studi Antropologi digabung dengan program studi Linguistik di dalam satu jurusan yang diberi nama Jurusan Linguistik dan Jurusan Antropologi. Penggabungan dua cabang ilmu itu dalam satu jurusan dimaksudkan sebagai suatu keputusan yang akan dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan dilatar belakangi oleh banyaknya suku bangsa dan banyaknya bahasa di daerah irian Jaya ini. Disamping itu penggabungan dua bidang ilmu dan pengelolaannya diharapkan bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari program kerja sama Universitas Cenderawasih – Summer Institute of Linguistics (SIL).
Administrasi maupun kegiatan akademik jurusan Antropologi dan Linguistik sampai tahun 1981 ditangani oleh Lembaga Antropologi, tetapi sejak tahun ajaran 1981/1984 dialihkan ke Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES) yang kemudian berdasarkan PP.No.05 Tahun 1980 berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). 
Adanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud untuk penyelenggaraan pendidikan Antropologi, maka pada tahun ajaran 1983/1984 kurikulum pada jurusan Linguistik dan Antropologi harus dirubah. Semua mata kuliah Linguistik dihapuskan dari kurikulum. Karena tidak sesuai dengan kurikulum inti yang ditetapkan oleh Depdikbud. Perubahan kurikulum itu membawa konsekuensi terhadap nama jurusan, sehingga nama dirubah menjadi Jurusan Antropologi.

Jumat, 01 Juli 2011

KETIKA MASYARAKAT KEHILANGAN RUJUKAN PERANAN BUDAYAWAN SANGAT MENENTUKAN

 Oleh:
Wisran Hadi

Marilah kita mulai pembicaraan tentang kebudayaan ini dari sesuatu yang tidak berbudaya. Tentang hikayat seekor ayam. Ayam sebagai jenis burung yang halal dimakan, akan dapat jadi haram apabila diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan ketentuan agama. Ayam yang secara material adalah halal namun jika dipotong tanpa mengucapkan bismillah, ayam yang telah dipotong itu langsung jadi haram untuk dimakan. Di sini berarti, bahwa perlakuan atau proses adalah sesuatu yang sangat menentukan. Perlakuan yang salah akan menyebabkan suatu material berobah status hukumnya dari halal menjadi haram.
Begitulah perlakuan masyarakat kita sekarang terhadap kebudayaan. Mereka lebih memandang kepada ayamnya, materialnya, sosoknya, wujudnya, bukan kepada perlakuan atau proses penyembelihannya. Artinya, masyarakat kita lebih percaya kepada material yang secara umumnya halal, bukan kepada perlakuan yang menyebabkan material menjadi haram. Semua itu dapat dilihat pada perlakuan atau proses pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, budaya dan seni.
Pola hidup masyarakat yang serba materialistik, hedonistik dan konsumtif merupakan presentasi perpanjangan dari hikayat seekor ayam tadi. Masyarakat semakin hari semakin mengagungkan kebendaan. Mereka memberhalakan sesuatu hasil, tanpa mau mengikuti proses yang benar. Mereka lebih percaya pada apa yang tampak atau apa yang wujud. Segala sesuatu mereka ukur dengan berdasarkan ujudnya. Profesi seseorang tidak dihargai, tetapi sukses atau keberhasilan (terlepas dari bagaimana mereka memperoleh kesuksesan itu) sangat didambakan. Perlakuan atau proses tidak penting, karena pencapaian hasil lebih diutamakan.
Perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat primitif adalah bagaimana mereka menyikapi lingkungannya, bagaimana mereka memperlakukan sesuatu, menyikapi persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya. Dalam kehidupan masyarakat primitif, semuanya harus diwujudkan. Segala sesuatu yang dianggap gaib, seperti dewa-dewa, roh jahat atau roh buruk diwujudkan dalam bentuk-bentuk patung atau lukisan. Mereka memberhalakan bentuk-bentuk. Mereka miskin imajinasi atau dapat dikatakan, mereka tidak mampu mengembangkan imajinasinya. Seseorang dianggap sempurna adalah mereka yang berhasil mengumpulkan segala macam benda, segala macam jenis binatang, ternak, budak dan batu-batuan. Seorang kepala suku dalam masyarakat primitif harus dilihat sebagai makhluk yang keramat dan tidak dapat disamakan dengan manusia biasa. Orang-orang keramat itu terbebas dari segala keburukan, kutukan atau dosa-dosa.
Hal seperti itu pulalah yang kini terjadi dalam masyarakat kita. Masyarakat kita yang sudah dianggap modern ini ternyata hanyalah perpanjangan dari cara berpikir masyarakat primitif. Indikasi cara berpikir primitif tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek. Kesuksesan seorang anak didik ditentukan oleh nilai yang didapat dalam waktu sesaat, bukan oleh sebuah proses belajar yang panjang. Seorang pegawai negeri dinilai bukan dari segi kejujuran, disiplin dan etos kerjanya, tetapi dari sejauh mana mereka dapat merangkul atasannya. Seorang suami dinilai hebat oleh istri dan anaknya, apabila si suami dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tanpa si istri atau anak mempertanyakan proses darimana datangnya kekayaan tersebut. Seorang ulama dinilai dari penampilannya, pangkat dan gelar akademiknya, bukan dari banyaknya jamaah yang mereka tuntun, ketaqwaan dan kebenaran yang diajarkannya. Tokoh-tokoh akademik karena punya gelar akademik yang tinggi kini telah dianggap pula sebagai ulama atau tokoh agama. Mereka boleh berpikir bebas tanpa harus memperhitungkan kesesatan yang dibawanya. Seorang Kiyai ditentukan oleh keturunannya, bukan oleh ilmu agama yang diembannya. Kiyai adalah manusia tanpa dosa, karenanya mereka boleh melakukan apa saja. Seniman lebih dihargai aksi dan penampilan dirinya, bukan pada karya-karya seninya. Seorang budayawan dihargai pada pemunculan dan retorikanya, bukan pada hasil-hasil renungannya untuk mencerahkan kehidupan.
Cara pandang masyarakat primitif yang diteruskan oleh masyarakat yang mengklaim dirinya masyarakat modern itu cukup merisaukan. Terjadi perubahan yang besar terhadap orientasi budaya. Nilai-nilai budaya yang telah diajarkan secara turun temurun untuk diwarisi dan nilai-nilai agama yang telah diajarkan semenjak dini secara perlahan telah bergeser jauh. Rasa malu, rasa keadilan, rasa keindahan, rasa kebersamaan berubah secara total tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Perobahan yang terjadi begitu dahsyat, dianggap sebagai ekses, akibat samping dari kehidupan dunia modern dan globalisasi. Lalu dicarikan kambing hitamnya; mass media. Mass medialah yang dianggap sebagai biang dari masuknya nilai-nilai budaya asing dan budaya pop yang serba instan ke rumah-rumah. Kita tidak pernah menyalahkan diri kita sendiri, bahwa perubahan itu yang terjadi disebabkan oleh sikap budaya dan kesalahan dalam memperlakukan dan memandang nilai-nilai yang lama itu sebagai sesuatu ambigu, nisbi, tidak relevant dengan perkembangan dunia.
Khusus dalam masalah kesenian misalnya, – bidang ini adalah bidang yang tanpa filter dapat dimasuki oleh apa saja coraknya cara berpikir, aliran-aliran politik, keyakinan-keyakinan dan isme-isme lainnya – telah lebih dulu bergeser ke arah pola pikir masyarakat primitif itu tadi. Kesenian sekarang telah dipisahkan dari etika, nilai-nilai dan norma-norma agama. Jika seseorang menuntut agar kesenian harus takluk kepada nilai-nilai adat dan budaya serta norma-norma agama, maka para seniman menampiknya dengan mengatakan; karya seni adalah sebuah produk otonom, terbebas dari nilai-nilai budaya dan agama apapun. Mengukur karya seni harus dengan ukuran karya seni itu sendiri. Seniman tidak perlu harus beragama, harus beradat. Seniman, sebagaimana kiai-kiai tadi, merekapun menganggap diri sebagai manusia steril yang terbebas dari dosa-dosa. Akibat dari perlakuan mereka yang demikian terhadap karya seni, para seniman seakan mendapat legitimasi untuk berbuat apa saja. Mereka dapat melakukan pertunjukan apa saja coraknya, apakah itu melanggar aturan adat, nilai-nilai budaya atau hukum-hukum agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenian kita tidak semakin maju, tetapi semakin mundur, mendekati kehidupan masyarakat primitif. Namun sebaliknya, bagi dunia pariwisata misalnya, semakin budaya masyarakat kembali menjadi primitif, akan semakin menguntungkan sektor ini karena akan semakin banyak turis yang datang. Bagi para politik dan pemerintah, semakin masyarakat itu berpola pikir dan bertingkah laku sebagaimana masyarakat primitif akan semakin mudah mereka menanamkan aliran-aliran politiknya, dan pihak pemerintah semakin mudah memperkokoh kekuasaannya, karena pola masyarakat primitif bergerak pada hasil bukan pada proses. Masyarakat demikian cukup diberi atau disediakan berhala-berhala yang selalu akan mereka sembah setiap hari; kekayaan dan jabatan (melalui KKN), kehidupan yang glamour tanpa rujukan. Orang-orang diberi surprise dengan hasil-hasil yang mendadak, penunjukan-penunjukan yang tiba-tiba dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat yang menghargai proses dan profesionalisme – yang sering disebut sebagai masyarakat yang akademik – menjadi musuh. Masyarakat demikian adalah musuh besar bagi sebuah kekuasaan yang korup.
Analog hikayat seekor ayam dengan pola hidup yang sedang dilakoni sekarang adalah sesuatu sangat merisaukan. Kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dianut berbagai suku yang tersebar seluruh kepulauan di Indonesia yang selama ini “halal”, namun karena diperlakukan secara salah, telah menjadi “haram” untuk kehidupan berikutnya. Kita “haramkan” atau kita tidak setuju terhadap dampak dari nilai-nilai budaya baru sebagai dampak dari cara berpikir masyarakat primitif. Kita mengharamkan judi, korupsi, perzinaan, makanan minuman yang memabukkan, pemalsuan-pemalusan, hilangnya rasa malu dan buyarnya kebersamaan dan lain sebagainya itu, sementara yang kita “haramkan” itu terus dipasarkan ke tengah masyarakat dengan berbagai fasilitas yang diberikan lembaga-lembaga tertentu maupun pemerintah itu sendiri. Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang terjadi di Sumatera Barat dapat dijadikan batu uji, apakah masih ada rasa malu bagi mereka yang telah dituduh dan dihakimi sebagai koruptor. Jika para wakil rakyat Sumatera Barat yang terbukti korupsi itu sudah tidak punya rasa malu lagi, ini sekaligus sebagai bukti bahwa Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang diagung-agungkan selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya sekarang adalah, mampukah kita menggeser paradigma berpikir dari masyarakat primitif kepada cara berpikir masyarakat modern, yang terbuka, jujur, agamis? Masyarakat yang mempunyai daya imajinasi yang kuat dan luas, masyarakat yang menghargai proses terhadap semua perilaku dan tindakan? Sesuatu yang selama ini telah jadi “haram” ulah perlakuan kita terhadap budaya, kembali kita jadikan “halal” sehingga dapat memberikan pencerahan dalam kehidupan? Mengutuki perlakuan dan proses yang salah karena akan dapat menjadikan sesuatu menjadi “haram”. Memberikan ruang yang luas untuk setiap perlakuan dan proses yang benar.
Dalam konteks ini, peranan budayawan, agamawan, ilmuwan menjadi sangat strategis. Mereka harus dapat menjadi tonggak kilometer, sudah sejauh mana perjalanan dan penyimpangan yang telah dilakukan, sekaligus menjadi signboard untuk menentukan arah ke mana masyarakat Indonesia berikutnya melangkah. Para budayawan, agamawan dan ilmuwan harus dapat mensugesti, mengetuk hati nurani dan meyakinkan masyarakatnya dengan bahasa yang logis, sederhana dan mudah dipahami bahwa; kita bukan masyarakat primitif yang liar tanpa rujukan tetapi masyarakat modern yang penuh dipagari oleh tata nilai. 
Semoga Allah swt memberi kekuatan kepada mereka mengucapkannya.
Tulisan ini kirimkan oleh salah seorang teman “Wisran Hadi” pada yahoo group yang yang ditulis dalam Orasi Kebudayaan

Kamis, 30 Juni 2011

Selayang Pandang Sejarah Suku-suku di Tanah Papua Sebuah Gambaran Kajian Sejarah

“Orang Papua” yang sekarang kita kenal sebagai sebutan untuk suku bangsa-suku bangsa yang berada di pulau paling timur dari kawasan Nusantara ini (pulau Irian) telah mengalami beberapa kali penamaan berdasarkan perkembangan sejarah. Pulau Irian yang berbentuk seekor burung raksasa, dimana 47% yang merupakan kepala, tengkuk, punggung, leher, dada dan perut dinosaurus adalah wilayah Irian Jaya, dan 53% sisanya yang merupakan ekor adalah wilayah Papua New Guinea (PNG).
Bagian kepala pulau Irian disebut “Doreh” (lima gigi) oleh para pelaut Indonesia, karena semenanjung yang meruncing dengan teluk-teluk yang sempit (teluk Wandamen, teluk Umar, teluk Beraur, teluk Sebakor, dan teluk Arguni). Dalam peta-peta Belanda, daerah ini disebut “ Vogelkop Schiereiland”. Sedangkan bagian belakang kepala dan tengkuknya dibentuk oleh teluk Cenderawasih ( dalam peta Belanda disebut Geelvink Baai) yang terdapat pulau Yapen, Biak Numford, Supriori, dan pulau kecil lainnya. Dibagian punggung ada tanjung dengan garis pantai yang membujur kearah timur dengan deretan pegunungan yang sejajar garis pantai yang merupakan tulang punggungnya. Bagian leher, dada dibentuk oleh suatu garis pantai yang membujur dari daerah Kepala Burung kearah timur. Dibagian selatan terletak pulau Yos Sudarso (Kimaam) yang terpisah dari pulau besar Irian Jaya yang menyerupai lengan dinosaurus.
Orang Belanda menyebut pulau Irian dahulu yaitu Niew-Guinea oleh seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes (1545) yang menyebut “Neuva Guinea” (Guinea Baru). Penduduk Irian (Papua) yang berkulit hitam mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua Afrika (Naber, 1915: 527-533). Sebutan lain juga adalah “Papua” yang mula-mula dipakai oleh pelaut Portugis Antonio d’ Arbreu yang mengunjungi pantai Papua pada tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta pada waktu berada di laut Maluku pada tahun 1521. Kata “Papua” berasal dari kata Melalyu “Pua-pua” yang berarti “keriting” (Stirling, 1943: 4).
Dalam konferensi Malino 1946 nama “Irian” diusulkan oleh F. Kaisepo. Kata itu berasal dari bahasa Biak yang artinya “Sinar matahari yang menghalau kabut di laut”, sehingga ada “harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian. Pengertian lain dari kata ini juga pada orang Biak, bahwa Irian itu berasal dari dua kata yaitu “Iri” dan “an”. Iri berarti “panas” dan an berarti “tanah”. Jadi artinya tanah yang panas. Masyarakat Marind-anim di pantai selatan mengatakan kata Irian berarti “tanah air” Akhirnya presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Ciri dan Identitas Orang Papua

Orang Papua tidak pernah diteliti oleh para ahli mengenai cri-ciri ras. Hanya beberapa orang dokter dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan pengukuran tinggi badan dan indeks ukuran tengkorak pada beberapa individu dibeberapa tempat yang terpencar. Bahan-bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang ciri-ciri fisik masyarakat di Papua. Menurut H.J.T. Bijlmer (1923). Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai makin pendek tubuhnya, demikian pula bentuk tengkorak penduduk pantai umumnya lonjong dan makin kearah pedalaman bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka pada beberapa penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak jarang pula ada orang pantai yang panjang bentuk mukanya, dan didaerah pedalaman keadaannyapun sama (Koentjaraningrat, 1993). Seorang ahli ragawi Belanda J.P. Kleiweg de Zwaam mengatakan bahwa suatu “ras papua” atau “ras Irian” itu tidak ada. memang diantara penduduk papua sendiri ada perbedaan ciri-ciri ras khusus. Kebinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-ciri ras fenotip mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun dalam hal ini tidak ada keseragaman. Warna rambut orang papua hampir semuanya hitam tetapi tidak semuanya keriting. Penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang berombak dan bahkan ada pula yang lurus, sedang ada pula yang lurus dan kejur (Neuhauss, 1911).

referensi :