Look at Me, I'm Free.....!!!

Subscribe Us

... ...

Jumat, 01 Juli 2011

KETIKA MASYARAKAT KEHILANGAN RUJUKAN PERANAN BUDAYAWAN SANGAT MENENTUKAN

 Oleh:
Wisran Hadi

Marilah kita mulai pembicaraan tentang kebudayaan ini dari sesuatu yang tidak berbudaya. Tentang hikayat seekor ayam. Ayam sebagai jenis burung yang halal dimakan, akan dapat jadi haram apabila diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan ketentuan agama. Ayam yang secara material adalah halal namun jika dipotong tanpa mengucapkan bismillah, ayam yang telah dipotong itu langsung jadi haram untuk dimakan. Di sini berarti, bahwa perlakuan atau proses adalah sesuatu yang sangat menentukan. Perlakuan yang salah akan menyebabkan suatu material berobah status hukumnya dari halal menjadi haram.
Begitulah perlakuan masyarakat kita sekarang terhadap kebudayaan. Mereka lebih memandang kepada ayamnya, materialnya, sosoknya, wujudnya, bukan kepada perlakuan atau proses penyembelihannya. Artinya, masyarakat kita lebih percaya kepada material yang secara umumnya halal, bukan kepada perlakuan yang menyebabkan material menjadi haram. Semua itu dapat dilihat pada perlakuan atau proses pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, budaya dan seni.
Pola hidup masyarakat yang serba materialistik, hedonistik dan konsumtif merupakan presentasi perpanjangan dari hikayat seekor ayam tadi. Masyarakat semakin hari semakin mengagungkan kebendaan. Mereka memberhalakan sesuatu hasil, tanpa mau mengikuti proses yang benar. Mereka lebih percaya pada apa yang tampak atau apa yang wujud. Segala sesuatu mereka ukur dengan berdasarkan ujudnya. Profesi seseorang tidak dihargai, tetapi sukses atau keberhasilan (terlepas dari bagaimana mereka memperoleh kesuksesan itu) sangat didambakan. Perlakuan atau proses tidak penting, karena pencapaian hasil lebih diutamakan.
Perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat primitif adalah bagaimana mereka menyikapi lingkungannya, bagaimana mereka memperlakukan sesuatu, menyikapi persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya. Dalam kehidupan masyarakat primitif, semuanya harus diwujudkan. Segala sesuatu yang dianggap gaib, seperti dewa-dewa, roh jahat atau roh buruk diwujudkan dalam bentuk-bentuk patung atau lukisan. Mereka memberhalakan bentuk-bentuk. Mereka miskin imajinasi atau dapat dikatakan, mereka tidak mampu mengembangkan imajinasinya. Seseorang dianggap sempurna adalah mereka yang berhasil mengumpulkan segala macam benda, segala macam jenis binatang, ternak, budak dan batu-batuan. Seorang kepala suku dalam masyarakat primitif harus dilihat sebagai makhluk yang keramat dan tidak dapat disamakan dengan manusia biasa. Orang-orang keramat itu terbebas dari segala keburukan, kutukan atau dosa-dosa.
Hal seperti itu pulalah yang kini terjadi dalam masyarakat kita. Masyarakat kita yang sudah dianggap modern ini ternyata hanyalah perpanjangan dari cara berpikir masyarakat primitif. Indikasi cara berpikir primitif tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek. Kesuksesan seorang anak didik ditentukan oleh nilai yang didapat dalam waktu sesaat, bukan oleh sebuah proses belajar yang panjang. Seorang pegawai negeri dinilai bukan dari segi kejujuran, disiplin dan etos kerjanya, tetapi dari sejauh mana mereka dapat merangkul atasannya. Seorang suami dinilai hebat oleh istri dan anaknya, apabila si suami dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tanpa si istri atau anak mempertanyakan proses darimana datangnya kekayaan tersebut. Seorang ulama dinilai dari penampilannya, pangkat dan gelar akademiknya, bukan dari banyaknya jamaah yang mereka tuntun, ketaqwaan dan kebenaran yang diajarkannya. Tokoh-tokoh akademik karena punya gelar akademik yang tinggi kini telah dianggap pula sebagai ulama atau tokoh agama. Mereka boleh berpikir bebas tanpa harus memperhitungkan kesesatan yang dibawanya. Seorang Kiyai ditentukan oleh keturunannya, bukan oleh ilmu agama yang diembannya. Kiyai adalah manusia tanpa dosa, karenanya mereka boleh melakukan apa saja. Seniman lebih dihargai aksi dan penampilan dirinya, bukan pada karya-karya seninya. Seorang budayawan dihargai pada pemunculan dan retorikanya, bukan pada hasil-hasil renungannya untuk mencerahkan kehidupan.
Cara pandang masyarakat primitif yang diteruskan oleh masyarakat yang mengklaim dirinya masyarakat modern itu cukup merisaukan. Terjadi perubahan yang besar terhadap orientasi budaya. Nilai-nilai budaya yang telah diajarkan secara turun temurun untuk diwarisi dan nilai-nilai agama yang telah diajarkan semenjak dini secara perlahan telah bergeser jauh. Rasa malu, rasa keadilan, rasa keindahan, rasa kebersamaan berubah secara total tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Perobahan yang terjadi begitu dahsyat, dianggap sebagai ekses, akibat samping dari kehidupan dunia modern dan globalisasi. Lalu dicarikan kambing hitamnya; mass media. Mass medialah yang dianggap sebagai biang dari masuknya nilai-nilai budaya asing dan budaya pop yang serba instan ke rumah-rumah. Kita tidak pernah menyalahkan diri kita sendiri, bahwa perubahan itu yang terjadi disebabkan oleh sikap budaya dan kesalahan dalam memperlakukan dan memandang nilai-nilai yang lama itu sebagai sesuatu ambigu, nisbi, tidak relevant dengan perkembangan dunia.
Khusus dalam masalah kesenian misalnya, – bidang ini adalah bidang yang tanpa filter dapat dimasuki oleh apa saja coraknya cara berpikir, aliran-aliran politik, keyakinan-keyakinan dan isme-isme lainnya – telah lebih dulu bergeser ke arah pola pikir masyarakat primitif itu tadi. Kesenian sekarang telah dipisahkan dari etika, nilai-nilai dan norma-norma agama. Jika seseorang menuntut agar kesenian harus takluk kepada nilai-nilai adat dan budaya serta norma-norma agama, maka para seniman menampiknya dengan mengatakan; karya seni adalah sebuah produk otonom, terbebas dari nilai-nilai budaya dan agama apapun. Mengukur karya seni harus dengan ukuran karya seni itu sendiri. Seniman tidak perlu harus beragama, harus beradat. Seniman, sebagaimana kiai-kiai tadi, merekapun menganggap diri sebagai manusia steril yang terbebas dari dosa-dosa. Akibat dari perlakuan mereka yang demikian terhadap karya seni, para seniman seakan mendapat legitimasi untuk berbuat apa saja. Mereka dapat melakukan pertunjukan apa saja coraknya, apakah itu melanggar aturan adat, nilai-nilai budaya atau hukum-hukum agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenian kita tidak semakin maju, tetapi semakin mundur, mendekati kehidupan masyarakat primitif. Namun sebaliknya, bagi dunia pariwisata misalnya, semakin budaya masyarakat kembali menjadi primitif, akan semakin menguntungkan sektor ini karena akan semakin banyak turis yang datang. Bagi para politik dan pemerintah, semakin masyarakat itu berpola pikir dan bertingkah laku sebagaimana masyarakat primitif akan semakin mudah mereka menanamkan aliran-aliran politiknya, dan pihak pemerintah semakin mudah memperkokoh kekuasaannya, karena pola masyarakat primitif bergerak pada hasil bukan pada proses. Masyarakat demikian cukup diberi atau disediakan berhala-berhala yang selalu akan mereka sembah setiap hari; kekayaan dan jabatan (melalui KKN), kehidupan yang glamour tanpa rujukan. Orang-orang diberi surprise dengan hasil-hasil yang mendadak, penunjukan-penunjukan yang tiba-tiba dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat yang menghargai proses dan profesionalisme – yang sering disebut sebagai masyarakat yang akademik – menjadi musuh. Masyarakat demikian adalah musuh besar bagi sebuah kekuasaan yang korup.
Analog hikayat seekor ayam dengan pola hidup yang sedang dilakoni sekarang adalah sesuatu sangat merisaukan. Kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dianut berbagai suku yang tersebar seluruh kepulauan di Indonesia yang selama ini “halal”, namun karena diperlakukan secara salah, telah menjadi “haram” untuk kehidupan berikutnya. Kita “haramkan” atau kita tidak setuju terhadap dampak dari nilai-nilai budaya baru sebagai dampak dari cara berpikir masyarakat primitif. Kita mengharamkan judi, korupsi, perzinaan, makanan minuman yang memabukkan, pemalsuan-pemalusan, hilangnya rasa malu dan buyarnya kebersamaan dan lain sebagainya itu, sementara yang kita “haramkan” itu terus dipasarkan ke tengah masyarakat dengan berbagai fasilitas yang diberikan lembaga-lembaga tertentu maupun pemerintah itu sendiri. Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang terjadi di Sumatera Barat dapat dijadikan batu uji, apakah masih ada rasa malu bagi mereka yang telah dituduh dan dihakimi sebagai koruptor. Jika para wakil rakyat Sumatera Barat yang terbukti korupsi itu sudah tidak punya rasa malu lagi, ini sekaligus sebagai bukti bahwa Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang diagung-agungkan selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya sekarang adalah, mampukah kita menggeser paradigma berpikir dari masyarakat primitif kepada cara berpikir masyarakat modern, yang terbuka, jujur, agamis? Masyarakat yang mempunyai daya imajinasi yang kuat dan luas, masyarakat yang menghargai proses terhadap semua perilaku dan tindakan? Sesuatu yang selama ini telah jadi “haram” ulah perlakuan kita terhadap budaya, kembali kita jadikan “halal” sehingga dapat memberikan pencerahan dalam kehidupan? Mengutuki perlakuan dan proses yang salah karena akan dapat menjadikan sesuatu menjadi “haram”. Memberikan ruang yang luas untuk setiap perlakuan dan proses yang benar.
Dalam konteks ini, peranan budayawan, agamawan, ilmuwan menjadi sangat strategis. Mereka harus dapat menjadi tonggak kilometer, sudah sejauh mana perjalanan dan penyimpangan yang telah dilakukan, sekaligus menjadi signboard untuk menentukan arah ke mana masyarakat Indonesia berikutnya melangkah. Para budayawan, agamawan dan ilmuwan harus dapat mensugesti, mengetuk hati nurani dan meyakinkan masyarakatnya dengan bahasa yang logis, sederhana dan mudah dipahami bahwa; kita bukan masyarakat primitif yang liar tanpa rujukan tetapi masyarakat modern yang penuh dipagari oleh tata nilai. 
Semoga Allah swt memberi kekuatan kepada mereka mengucapkannya.
Tulisan ini kirimkan oleh salah seorang teman “Wisran Hadi” pada yahoo group yang yang ditulis dalam Orasi Kebudayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar