Minggu, 12 Juni 2011

KAMPUNG WISATA TABLANUSU


Kampung Tablanusu terletak di distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Di kampung nelayan yang telah dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Jayapura sebagai desa wisata ini para wisatawan siap dimanjakan dengan aneka jenis wisata, seperti wisata hutan, wisata pantai, wisata danau, wisata sejarah, dan wisata budaya.
Sebelum menetap di desa nan asri ini, nenek moyang masyarakat Tablanusu telah pindah sebanyak dua kali. Pertama sekali mereka mendiami dua pulau di teluk yang tidak jauh letaknya dari tempat tinggal mereka sekarang. Disebabkan musibah tsunami yang menyapu daerah tersebut, mereka yang selamat kemudian mengungsi ke tempat yang lebih aman. Kemudian, perkampungan baru tersebut mereka namakan Kampung Tua. Ketika mendiami Kampung Tua ini, mereka berprofesi sebagai peladang, dengan umbi-umbian dan pisang sebagai tanaman andalan. Karena jumlah penduduk yang terus bertambah, sementara lahan untuk berladang kian terbatas, akhirnya mereka memutuskan untuk pindah lagi. Setelah menemukan lokasi yang cocok, perkampungan baru tersebut kemudian diberi nama Tablanusu, yang artinya tempat matahari terbenam. Saat berada di Tablanusu inilah mata pencarian mereka beralih dari peladang menjadi nelayan.
 Alami, asri, dan eksotik. Begitulah kesan wisatawan ketika berada di  kampung Wisata Tablanusu.  Kesan tersebut  telah dapat dinikmati  tatkala menempuh perjalanan dari Dermaga Depapre menggunakan perahu bermesin tempel menuju Dermaga Tablanusu. Sebab, di sepanjang perjalanan, wisatawan akan berdecak kagum melihat hijau dedaunan dari aneka pepohonan, bening air laut, serta barisan perbukitan dan pegunungan. Udaranya yang bersih dan sejuk melengkapi kepuasan wisatawan berekreasi ke kampung nelayan tersebut. Untuk menjangkau kampung tersebut dapat selain dapat melalui laut, juga dapat melalui darat.
Suasana eksotis dan nuansa mistis akan langsung menyergap wisatawan, begitu menginjakan kaki di kampung wisata tersebut. Sebab, berbeda dengan desa nelayan pada umumnya yang akrab dengan hamparan pasir, sebagian besar wilayah Kampung Wisata Tablanusu justru diselimuti batu koral hitam. Ke arah mana saja pandangan dilayangkan, hanya hamparan batu alam mengkilap yang terlihat. Begitu juga, ke mana pun kaki dilangkahkan, suara batu koral yang terinjak senantiasa terdengar. Disebabkan gesekan batu yang terinjak menyerupai isak tangis, Kampung nelayan ini pun kemudian dijuluki dengan nama kampung “Batu Menangis“. Konon, batu koral hitam yang menyelimuti  Kampung Tablanusu telah ada sedari nenek moyang mereka memutuskan pindah ke wilayah tersebut. Batu-batu koral itu juga dapat digunakan sebagai tempat pijat refleksi alami telapak kaki.
Keistimewaan lain Kampung Tablanusu yang dihuni sekitar 500 kepala keluarga (KK) ini terletak pada kerapian administratif kampungnya. Meskipun hanya kampung kecil dan berada jauh di pelosok, kampung ini sudah tertata secara baik. Misalnya, di kampung adat ini sudah ada RT dan RW. Dan, bahkan setiap gang yang terdapat di kampung tersebut sudah ada namanya. Daya tarik lain, meski terbilang kampung kecil, masyarakat yang menghuni kampung ini secara adat terbagi ke dalam sepuluh suku, yaitu Suku Sumile, Danya, Suwae, Apaserai, Serantow, Wambena, Semisu, Selli, Yufuwai, dan Yakurimlen.
Sambutan masyarakat yang hangat dan bersahabat dengan orang asing, kian mengukuhkan betapa spesialnya bertamasya ke Kampung Wisata Tablanusu. Mengakrabkan diri dengan masyarakat  kampung ini terbilang mudah dan murah. Hanya dengan modal buah pinang (areca catechu/betel palm), wisatawan sudah dapat meleburkan diri dengan masyarakat setempat. Sebagaimana masyarakat Papua pada umumnya, masyarakat Tablanusu pun terkenal suka mengkonsumsi pinang.
Keunikan lain Kampung Tablanusu adalah tersedianya berbagai jenis objek wisata dalam satu tempat. Hal ini tentunya memberi ruang kepada para wisatawan untuk memilih jenis rekreasi yang sesuai dengan keinginannya di desa yang memiliki luas sekitar 230,5 hektar tersebut.
Bagi peminat wisata sejarah, misalnya, dapat melihat sisa-sisa peninggalan tentara sekutu pada Perang Dunia II.  Apalagi, menurut sejarahnya,  kampung ini pernah menjadi salah satu basis tentara sekutu di kawasan timur Indonesia. Landasan meriam dan dermaga bekas pendaratan tentara sekutu adalah di antara sisa-sisa Perang Dunia II yang masih dapat dijumpai di sini. Objek wisata sejarah lainnya adalah sebuah makam di dekat gereja dan sebuah monumen salib. Makam tersebut diyakini sebagai makam salah seorang tokoh masyarakat setempat dan sekaligus salah seorang pendiri gereja. Sedangkan prasasti salib didirikan untuk mengenang masuknya agama Kristen ke Desa Tablanusu di awal tahun 1900-an.
Bagi penyuka wisata alam, dapat mendatangi hutan desa bersama masyarakat setempat atau menikmati pesona Danau Dukumbo yang masih alami. Di dalam hutan, wisatawan dapat melihat berbagai jenis tumbuhan dan mendengarkan aneka kicauan burung. Sedangkan di danau alamnya terdapat banyak ikan, terutama ikan bandeng (chanos chanos), ikan mujair (oreochromis mossambicus), dan ikan mas (cyprinus carpio).
Bagi wisatawan yang ingin melihat bunga anggrek, dianjurkan untuk mengunjungi dua buah pulau yang letaknya tidak terlalu jauh dari desa wisata tersebut. Hanya dengan berperahu beberapa menit saja, wisatawan sudah dapat melihat secara langsung bunga anggrek endemik Papua itu. Pada sore hari, dua pulau tersebut juga menjadi tempat persinggahan aneka jenis burung. Burung-burung itu hinggap berjejer di ranting pepohonan dan membentuk sebuah pemandangan yang indah menjelang matahari terbenam.
Sedangkan wisatawan yang ingin mencoba suasana lain, dapat mengunjungi daerah perairan. Panorama pantai nan rancak, laut bening dan tenang, serta angin laut yang bertiup sepoi-sepoi adalah di antara daya tarik daerah perairan ini. Selain memancing, air lautnya yang bening juga dapat mengakomodir wisatawan yang ingin berenang atau menyelam. Ketika menyelam, wisatawan akan terpukau melihat kekayaan bawah lautnya, seperti terumbu karang yang masih terjaga kelestariannya dan aneka jenis ikan yang berenang secara bergerombolan. Bila beruntung, di sini wisatawan dapat melihat ikan hiu. Selain itu, bagi wisatawan yang berhasrat mencari ikan bersama nelayan di daerah ini, datanglah ke Pantai Tablanusu pada malam hari. Sebagaimana nelayan pada umumnya, nelayan di sini juga pergi melaut pada malam hari, terutama pada saat langit gelap. Sebab, pada waktu itulah ikan lebih mudah ditangkap. Selain mengandalkan kail dan tombak, nelayan di kawasan ini kerap pula mencari ikan dengan cara menyelam hingga ke dasar laut ditemani cahaya senter.
Bila sedang beruntung,  anda dapat menyaksikan secara langsung perhelatan dan upacara khas masyarakat Kampung Wisata Tablanusu. Misalnya, peringatan hari masuknya Injil ke desa tersebut yang diperingati setiap tahun. Pada saat itu, masyarakat setempat akan berpawai mengelilingi desa yang diakhiri dengan menggelar Misa di gereja kecil mereka.   Selain itu, beberapa lokasi di perairan, terutama yang banyak terdapat terumbu karangnya, diruwat setahun atau setiap dua tahun sekali. Untuk memperoleh berkah laut dan sekaligus untuk melestarikan laut, masyarakat yang mendiami pantai utara Kabupaten Jayapura ini menggelar dua ritual, yaitu ritual Sasi dan ritual Tiyatiki.
Ritual Sasi adalah menancapkan dahan pohon kayu besi pantai (suang teko) di tempat-tempat yang banyak ikannya, terutama di kawasan terumbu karang yang merupakan sarang ikan. Sedangkan ritual Tiyatiki bertujuan melarang menangkap ikan selama beberapa waktu yang telah disepakati.

 

Lokasi

Secara administratif, Kampung Wisata Tablanusu masuk dalam wilayah Distrik Depapre, Kabupaten  Jayapura, Provinsi Papua, Indonesia.

Akses

Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Kampung Wisata Tablanusu,  dapat memulai perjalanan dari Kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua. Dari Kota Jayapura, wisatawan dapat naik bus  atau kendaraan lainnya menuju Kota Sentani, Ibu Kota Kabupaten Jayapura. Kota Sentani berjarak sekitar 33 kilometer dari Kota Jayapura. Setibanya di Kota Sentani, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus atau menyewa mobil carteran menuju Dermaga Depapre dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam.  Melalui Dermaga Depapre, perjalanan menuju Kampung Wisata Tablanusu dapat dilanjutkan melalui darat maupun dengan naik perahu bermesin tempel menuju Dermaga Tablanusu dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Setelah itu, perjalanan menuju Desa Wisata Tablanusu dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di Kampung Wisata Tablanusu terdapat berbagai fasilitas, seperti pemandu wisata, gereja, persewaan perahu, pasar ikan, dan warung yang menyediakan aneka makanan, minuman, dan souvenir khas masyarakat setempat. Bagi wisatawan yang ingin menginap, di sini tersedia sebuah penginapan “Suwae Resort” yang terdiri dari beberapa kamar (masih dalam tahap pengembangan) atau menyewa rumah penduduk setempat (homestay). Bagi wisatawan yang ingin menyatu dengan alam, dapat berkemah dengan nyaman di berbagai lokasi di desa tersebut, seperti di tepi pantai, di tepi danau, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi wisatawan yang ingin memperoleh akomodasi dan fasilitas yang memadai, dapat memperolehnya di Kota Sentani. Di ibu kota Kabupaten Jayapura itu, tersedia kios wartel, warung internet, pasar, rumah makan, bank, pusat oleh-oleh dan cenderamata, serta wisma dan hotel dengan berbagai tipe.

Senin, 06 Juni 2011

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI


Masalah Etika dalam Antropologi dan Sosiologi
Perkembangan antropologi dan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sebagian tergantung pada data yang diperoleh dari dan mengenai informan atau responden, dan sebagian lainnya dari metode ilmiah dan imajinasi ilmiah yang telah dikembangkannya. Data yang diperoleh digunakan untuk pengembangan teori-teori dan pendekatan-pendekatan serta metodologi; dan juga untuk dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi kebijaksanaan untuk merubah cara-cara hidup tertentu dari para informan atau responden agar sesuai dengan dan mendukung program-program pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah atau untuk kepentingan praktis lainnya yang dikelola oleh badan-badan atau yayasan-yayasan swasta domestik maupun luar negeri.
Berkenaan dengan itu muncul masalah yang khususnya dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, yaitu berkenaan dengan adanya konflik-konflik sebagai hasil kaitan hubungan antara: (1) nilai-nilai kemanusiaan dan pribadi, dengan (2) penelitian dan hasil penelitiannya; dan dengan (3) aplikasi (yang digunakan untuk kepentingan pemerintah sendiri dan pemerintah negara lain, untuk pemerintah jajahan, untuk badan-badan atau yayasan yang menjadi sponsor dan membiayai penelitian tersebut). Munculnya masalah tersebut didasari oleh pertanyaan berkenaan dengan: 'sampai seberapa jauhkan kita sebagai ahli antropologi yang mempunyai pengetahuan mengenai kehidupan para informan itu dapat melakukan intervensi yang merubah (dan merusak) cara-cara hidup yang menjadi tradisi mereka; dan seberapa jauhkan kita dapat mengungkapkan informan dan data yang diperoleh untuk kepentingan- kepentingan praktis?'. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai gencar pada akhir-akhir tahun enampuluhan, yang antara lain kesadaran tersebut disebabkan oleh keterlibatan sejumlah ahli antropologi dalam perang di Vietnam pada waktu itu. Padahal pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II dan sebelumnya (di wilayah-wilayah jajahan dan protektorat Amerika) banyak ahli antropologi yang menggunakan pengetahuan antropologi mereka untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi menunjang kebijaksanaan pemerintah Amerika, tetapi masalah etika tidak menjadi masalah.
Masalah etika yang dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, seperti tersebut diatas, nampaknya tidak menjadi masalah bagi para ahli sosiologi Amerika. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) sasaran kegiatan sosio- logi di Amerika adalah masyarakat Amerika itu sendiri, sehingga berbagai kode etik yang telah dikembangkan dan berlaku secara baku berkenaan dengan masalah hak azasi dan hakekat kemanusiaan secara sadar ataupun tidak sadar telah diadopsi sebagai kode etik dalam sosiologi di Amerika; dan (2) masalah etik ini telah dipecahkan seja awal oleh para tokoh pelopor sosiologi dan filsafat, sehingga masalah etika dalam aplikasi sosiologi tidak lagi menjadi masalah; John Dewey, misalnya mengatakan bahwa 'tujuan semua pengetahuan adalah untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan taraf kehidupan dalam masyarakat bagi peningkatan harkat kemanusiaan. ... dan karena itu ... sosiologi ... harus mengabdikan dirinya pada usaha social engineering (dikutip dari tulisan Scott dan Shore, 1979:90). Sedangkan masalah etika yang dihadapi oleh para ahli sosiologi adalah berkenaan dengan obyektivitas dari hasil-hasil penemuannya.


Etika dan Penelitian: Antropologi Amerika
Dalam kongresnya pada tahun 1967 American Anthropologist Association (AAA) menerima usulan mengenai masalah-masalah penelitian antropologi dan etika, untuk dikembangkan dan diformulasikan sebagai pedoman etika bagi para ahli antropologi. Sebuah panitia yang ditunjuk pada tahun 1968, menyusun sebuah draft mengenai Kode Etika yang diterbitkan di Anthropology Newsletter, April 1969. Sebuah draft yang disusun pada tahun 1970 oleh sebuah panitia khusus yang dipilih diantara para ahli antropologi, menjadi pusat perdebatan diantara para hali antropologi dalam kongresnya pada tahun 1970, telah diterima oleh kongres dan dengan demikian menjadi pedoman kegiatan-kegiatan penelitian dan profesi para ahli antropologi.
Kata pembukaan dari Kode Etika tersebut berbunyi: 'para ahli antropologi harus menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan penelitian yang secara potensial dapat merusak atau menghancurkan warga masyarakat yang ditelitinya atau merusak dan menghancurkan komuniti ilmiah'. Kode Etika tersebut mencakup enam bidang tanggung jawab profesional ahli antropologi; yaitu: (1) terhadap mereka yang diteliti atau dikaji; (2) terhadap umum; (3) terhadap disiplin antropologi; (4) terhadap mahasiswanya; (5) terhadap sponsor yang memberikan dana penelitian; (6) terhadap pemerintahnya sendiri dan terhadap pemerintah dimana penelitian dilakukan.
Secara terperinci enam bidang profesional yang diatur oleh Kode Etika tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tanggung Jawab Terhadap Mereka Yang Diteliti atau Dikaji; adalah merupakan tanggung jawab yang paling besar dalam kegiatan penelitian antropologi. Dalam hal ini ahli antropologi harus berbuat apapun yang dapat dilakukan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan fisik, sosial dan kejiwaan dari informan serta menghormati harga diri dan 'privasi'nya. Hak-hak, kepentingan-kepentingan sensitivitas dari mereka mereka itu harus dijunjung tinggi oleh para ahli antropologi. Secara lebih khusus juga dinyatakan dalam Kode Etika tersebut bahwa para ahli antropologi harus menjelaskan tujuan penelitiannya, dan kalau untuk kepentingan aplikasi harus juga dijelaskan implikasi dari penelitian yang dilakukan tersebut terhadap kehidupan mereka; dan para ahli antropologi juga harus menjelaskan kepada mereka bahwa informan akan anonim dalam laporan data. Begitu juga, secara individual informan tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan pribadi si ahli antropologi. Ahli antropologi harus memperhitungkan akibat-akibat yang dapat merugikan mereka yang diteliti pada waktu mereka mempublikasikan hasil peneltiannya, dan berusaha untuk menghindarkan akibat-akibat yang merugikan tersebut. Bila penelitian yang dilakukan itu adalah penelitian rahasia, maka ahli antropologi tidak seharusnya membuat hasil penelitiannya yang disampaikan kepada sponsor bila hasil penelitian tersebut tidak dapat dipublikasi untuk umum.
2.      Tanggung Jawab Terhadap Umum; mencakup pernyataan mengenai kejujuran cara memperoleh data dan kebenaran atau obyektivitas data yang dilaporkan. Secara jujur ahli antropologi harus mengemukakan kepada umum mengenai hasil-hasil kajiannya, karena mereka mempunyai tanggung jawab profesional untuk menyumbangkan pikiran-pikirannya yang dapat menjadi landasan bagi pendapat umum dari keterbatasan-keterbatasan pengetahuan mereka mengenai keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.
3.      Tanggung Jawab Terhadap Disiplin Antropologi; mencakup pengertian tanggung jawab untuk menjaga reputasi mutu antropologi dan para ahli antropologi. Mereka juga harus menjaga hubungan baik dan menjaga reputasinya selama melakukan penelitian di lapangan, sehingga tidak menyulitkan para peneliti yang datang kemudian di tempat tersebut. Sebaiknya mereka itu tidak melakukan kegiatan- kegiatan penelitian rahasia, yang laporannya tidak dapat dipublikasikan.
4.      Tanggung Jawab Terhadap Mahasiswa; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi sebagai pengajar harus jujur dan adil terhadap para mahasiswanya dalam memberikan nilai; dan karena itu nilai yang diberikan harus terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan. Mereka juga dibebani tanggung jawab untuk memajukan kemajuan akademik dan menyadarkan adanya etika dalam penelitian serta meningkatkan kesejahteraan hidup para mahasiswanya.
5.      Tanggung Jawab Terhadap Sponsor; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi harus jujur terhadap kwalifikasi kesanggupan akademiknya, kesanggupan mengerjakan proyek yang diterimanya, dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dalam kegiatan penelitian yang diterimanya. Mereka harus mengetahui secara jelas darimana sumber dana bagi proyek penelitian yang diterimanya; dan sebaiknya tidak mengikat diri dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat rahasia. Dan karena itu juga mereka harus mempunyai hak untuk menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut masalah etika sebagai hasil dari penemuan-penemuan penelitiannya dalam pengambilan keputusan untuk kebijaksanaan dari sponsor yang menyangkut kepentingan warga masyarakat yang diteliti.
6.      Tanggung Jawab Terhadap Pemerintahnya Sendiri dan Terhadap Pemerintah Dimana Dia Melakukan Penelitian; mencakup pengertian bahwa dalam kegiatan-kegiatan penelitiannya ahli antropologi harus jujur dan terbuka mengenai penelitian apa yang sedang dilakukannya dan bagaimana melakukan pengumpulan datanya. Tidak seharusnya dia terlibat dalam kegiatan penelitian yang bersifat rahasia untuk kepentingan pemerintah negaranya sehingga merugikan pemerintah dimana dia melakukan penelitian, atau sebaliknya.
Kode Etika yang dibuat tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bertindak secara profesional bagi para ahli antropologi. Walaupun demikian, Kode Etika tersebut mempunyai sanksi-sanksi, yang dapat dijatuhkan terhadap anggota (AAA) yang melanggarnya oleh (AAA) sebagai perkumpulan profesional dalam batas-batas yang sah menurut hukum yang berlaku.
Masalah Kode Etika dalam sosiologi, seperti yang dihadapi oleh antropologi di Amerika seperti diuraikan diatas, tidak pernah terjadi. Yang menjadi masalah justru adalah berkaitan dengan masalah obyektivitas dan kenetralan etika dalam penelitian. Pedoman untuk etika dalam penelitian adalah metode ilmiah. Metode ilmiah ini mengikuti prinsip- prinsi: (1) Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu dengan keraguan yang penuh dan skeptik; dan sikap ini juga berlaku untuk hasil-hasil penemuan penelitian dari yang telah dilakukannya sendiri, yang menjadi sasaran untuk dapat diubah dan untuk analisis lebih lanjut; (2) Obyektivitas, yang dalam hal ini, si ilmuwan harus menghapuskan dari dirinya sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, keyakinan-keyakinannya, dan kecenderungan-kecenderungan untuk menolak atau menyukai data yang diperoleh; dan (3) Kenetralan secara Etika, yaitu si ilmuwan tidak boleh membuat penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya; dia hanya dapat memberi penilaian mengenai data yang diperolehnya sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu juga kesimpulan-kesimpulannya tidak boleh dianggap sebagai kata akhir, mutlak, atau kebenaran universal; karena kesimpulan-kesimpulan hanya relatif untuk waktu dan tempat dimana penelitian dilakukan dan selalu akan berubah.


Etika Penelitian Antropologi dan Sosiologi di Indonesia dan Malaysia
Masalah etika penelitian bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan bagi antropologi dan sosiologi khususnya, belum pernah secara tertulis dinyatakan kehadirannya dalam dunia ilmu-ilmu sosial khususnya di Indonesia. Walaupun demikian, secara individual para ahli ilmu-ilmu sosial masing-masing telah menjalankan etika tersebut dengan bidang profesi mereka masing-masing. Mungkin sudah waktunya kalau para ahli antropologi dan sosiologi di Indonesia dan Malaysia mulai memikirkan Kode Etika yang macam mana yang sebaiknya mereka formulasikan untuk dapat dijadikan sebagai pedoman kegiatan- kegiatan profesional mereka masing-masing.
Asosiasi Ahli Antropologi Indonesia (AAAI) telah membuat draft Kode Etika untuk para anggotanya (yang dibuat oleh Dr. E.K.M. Masinambouw). Ada baiknya juga kalau para ahli antropologi dan ahli sosiologi di Indonesia dan Malaysia turut membahas draft Kode Etika tersebut, sehingga bukan hanya berlaku sebagai pedoman kegiatan profesional para ahli antropologi Indonesia saja. Uraian panjang lebar mengenai Kode Etika dari American Anthropologist Association sebenarnya dimaksudkan untuk kita dapat melihat bahwa Kode Etika itu perlu untuk digunakan bagi peningkatan kegiatan profesional kita dalam turut membantu meningkatkan harkat kemanusiaan dan pembangunan negara dan bangsa, dan dalam meningkatkan mutu keilmuwan disiplin kita masing-masing. Peningkatan mutu keilmuwan disiplin ilmu kita masing-masing, berarti juga meningkatkan mutu ilmu-ilmu sosial pada umumnya di negara kita masing- masing, berarti juga meningkatkan kepercayaan umum dan pemerintah terhadap kesanggupan profesional kita untuk turut membantu memecahkan berbagai masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional antar bangsa.
Dengan demikian, perlunya Kode Etika bagi profesi kita masing-masing maupun secara bersama-sama itu tidak dapat ditawar lagi. Tanpa adanya Kode Etika, khususnya bagi penelitian, maka mutu keilmiahan dari data yang dikumpulkan dan dianalisis bisa menyimpang daripada yang diharapkan dari suatu penelitian ilmiah.


Kepustakaan
- American Anthropologist Association
  1970     AAA: Principles of Professional Responsibility.
- Scott, Robert A. dan Arnold R. Shore
  1979     Why Sociology Does Not Apply: A Study of Sociology in Public Policy, New York: Elsevier.

MITIGASI KONFLIK BERBASIS PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM UPAYA PENINGKATAN PARIWISATA INDONESIA



Untuk mengenal lebih mendalam maka baiknya kita lebih mengenal dahulu  arti dari kata Mitigasi dan Pariwisata. Mitigasi dan Pariwisata adalah centralistic dari pembahasan dalam karya ini. 
Mitigasi, artinya adalah pencegahan atau penghentian sebelum , semacam preventif . Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
“Pencegahan Konflik berbasis Pendekatan Antropologi dalam Upaya peningkatan Pariwisata Indonesia.”
Banyak negara, bergantung banyak dari industri pariwisata ini sebagai sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan. Oleh karena itu pengembangan industri pariwisata ini adalah salah satu strategi yang dipakai oleh Organisasi Non-Pemerintah untuk mempromosikan wilayah tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan barang dan jasa kepada orang non-lokal
Pada hakikatnya berpariwisata adalah suatu proses kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergian adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan maupun kepentingan lain seperti karena sekedar ingin tahu, menambah pengalaman ataupun untuk belajar. Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang diluar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan wisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Dapat juga karena kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan olah raga untuk kesehatan, konvensi, keagamaan dan keperluan usaha yang lainnya. (Gamal Suwantoro, SH 1997:3-4).


POTENSI KONFLIK YANG DAPAT DI KEMBANGKAN MENJADI POTENSI PARIWISATA DI INDONESIA DAN LEBIH KHUSUS DI PAPUA.
Pada bulan Juli 2000, Bank Dunia mulai memikirkan bagaimana caranya menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan “ community-based tourism ” (CBT). Selanjutnya diidentifikasi adanya tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung konsep CBT yakni adventure travel , cultural travel dan ecotourism . Dibahas pula kaitannya dengan akomodasi yang dimiliki oleh masyarakat atau disebut small family-owned hotels yang biasanya berkaitan erat dengan tiga jenis kegiatan tersebut. Bank Dunia yakin bahwa peningkatan wisata adventure, ecology dan budaya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan sekitarnya sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat disekitarnya. Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata. Jadi sesungguhnya CBT adalah konsep ekonomi kerakyatan di sektor riil, yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnyapun langsung dinikmati oleh mereka.
Yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam konsep CBT adalah wisatawan domestik (wisnus) yang perannya sangat besar dalam menumbuhkan dan mengembangkan obyek-obyek wisata yang nantinya diharapkan akan dikunjungi oleh wisman. Obyek-obyek wisata yang sering dan padat dikunjungi oleh wisnus akan memperoleh manfaat lebih besar dibandingkan dengan yang jarang dikunjungi wisnus. Makin banyak wisnus berkunjung , makin terkenal obyek tersebut dan pada akhirnya merupakan promosi untuk menarik datangnya wisman.
             Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka pengembangan dan pembangunan obyek wisata atas dasar CBT ini adalah merupakan salah satu tugas pemerintah daerah, meskipun tetap diupayakan agar hanya sampai sebatas sebagai fasilitator untuk menarik investor swasta melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Event-event pariwisata harus disusun secara konsisten sehingga dapat dijadikan acuan para pelaku pariwisata menjual ke berbagai pasar pariwisata dunia. Tanpa event yang tetap dan berkualitas maka akan sulit menarik pengunjung ke lokasi tersebut. Selain itu prasarana pariwisata pun harus ditingkatkan kualitasnya terutama yang terkait dengan kesehatan, kebersihan, keamanan dan kenyamanan. 
Dari sisi pengembangan pembangunan secara garis besar juga dapat menyebabkan konflik, potensi konflik di Papua dapat kita lihat sangat banyak penyebabnya baik itu dari sisi ekonomi, politik, kehidupan social kemasyarakatannya. Di Papua dapat kita ketahui bersama bahwa gejolak-gejolak pergerkan dan perjuangan atas ketidak adilan pemerintah dalam pengembangan potensi SDM dan SDA di Papua masih terus berlangsung hingga sekarang dan sangat rawan tercipta konflik ini merupakan salah satu potensi konflik yang dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga.
Tetapi dari sisi positif di Papua dapat kita ketahui bahwa dengan konflik juga dapat menimbulkan kedamaian. Oleh sebab itu nilai dan norma-norma adat masih dijunjung tinggi hingga sekarang. Contohnya pada perang suku pada suku Yali, Dani, Mee, Ekari, dan beberapa suku lainnya yang ada di Papua. Dalam menyelesaikan suatu persoalan harus di lakukan dengan cara perang suku, tetapi hal ini dilakukan untuk mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma yang sudah ada di suku tersebut.
            Tetapi dari sudut pandang Pariwisata perang suku merupakan salah satu potensi pariwisata yang menarik untuk ditampilkan dan merupakan suatu nilai-nilai budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan. Banyak para witawan asing dating berkunjung ke Papua untuk menyaksikan peragaan perang suku yang ditampilkan masyarakat.