Sabtu, 25 Agustus 2012

Korupsi, Perspektif Antropologi

Amich Alhumami

Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar sehat. Korupsi itu bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan.
Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial. Ini fakta paradoksal sekaligus ironi tak terperi.
Bagaimana ilmu antropologi menjelaskan fenomena sosial yang merisaukan ini? Paling tidak ada tiga penjelasan.
Penjelasan pertama merujuk teori negara patrimonial, yang menempatkan pemimpin dan elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Sebagai pemegang kekuasaan politik, sang penguasa bertindak selaku patron yang membangun hubungan patronase dengan para klien dalam posisi tidak setara. Para klien menjadi subordinasi sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada sang patron. Mereka harus bersedia mengabdi dan melayani sang patron bila ingin mendapat bagian dan akses ke sumber daya ekonomi-politik itu.
Praktik inilah yang berlangsung di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan Indonesia. Di sini terbangun hubungan segi-tiga-tergantung antara anggota DPR, birokrat, dan pengusaha. Anggota DPR selalu mengambil peran sebagai patron, baik bagi birokrat maupun pengusaha, yang selalu diposisikan sebagai klien. Untuk mendapatkan proyek atau aneka kontrak, pengusaha harus bersedia memberi all in services kepada anggota DPR dan birokrat.
Demikian pula birokrat harus melakukan hal sama, memberikan pelayanan prima kepada anggota DPR untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau persetujuan alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kasus Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Faishal, dan para pejabat BI harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa-patronase ini.

Tukar hadiah
Penjelasan kedua merujuk teori gift exchange atau gift-giving dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954). Dalam masyarakat primitif, relasi sosial dan interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat satu sama lain. Mereka membangun hubungan sosial yang bersifat face to face community interactions, tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange) dan memberi bingkisan (gift giving).
Tukar hadiah menggambarkan suatu relasi harmonis di antara anggota masyarakat, melambangkan penghormatan/ penghargaan sesama warga masyarakat, merefleksikan kohesivitas sosial yang kokoh, serta melukiskan kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah.
Adapun pemberian bingkisan juga merupakan simbolisasi civic culture, social virtue, dan public morality di kalangan masyarakat primitif. Bila seseorang diberi hadiah, ia memiliki kewajiban moral untuk membalas pemberian hadiah itu dengan nilai setara sebagai ungkapan penghargaan dan aktualisasi nilai-nilai kebajikan sosial. Ini merupakan bentuk etika sosial yang menandai penghormatan kepada sesama warga masyarakat.
Namun, masyarakat modern membuat ”interpretasi kreatif” dan memberi makna baru tukar hadiah, dengan mengubah pemberian bingkisan menjadi kickback, pay-off, dan buy-off untuk memperlancar segala urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Masyarakat modern telah menyelewengkan fungsi sosial tukar hadiah sebagai instrumen untuk merekatkan hubungan antarwarga masyarakat. Penyelewengan makna pemberian bingkisan menjadi uang suap/uang pelicin jelas bertentangan dengan moralitas publik, etika sosial, dan civic virtue yang berlaku di masyarakat primitif.
Saksikan pemberian hadiah dalam makna baru kini bertebaran di ruang-ruang pertemuan informal di hotel-hotel berbintang, yang melibatkan anggota DPR, aparatur birokrasi, pejabat pemerintah, dan pengusaha yang berkepentingan mendapat proyek pembangunan dan kontrak pekerjaan.

Korupsi
Penjelasan ketiga merujuk teori cultural relativism terkait pengertian korupsi yang merujuk pada nilai-nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat (lihat Haller and Shore, Corruption: Anthropological Perspectives, 2005). Korupsi adalah konsep modern yang muncul dalam wacana modernitas sehingga definisi korupsi bisa saja berlainan dalam konteks budaya masyarakat yang berbeda-beda.
Dalam wacana modernitas, korupsi didefinisikan sebagai misuse of power, of public office, of entrusted authority for private benefits. Dalam pengertian ini, bila seorang pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan atau menyelewengkan otoritas untuk kepentingan pribadi atau mendapat manfaat ekonomi dan keuntungan finansial dari jabatan yang diembannya, itu tergolong korupsi. Ini berbeda dengan pemahaman masyarakat di negara patrimonial saat kekuasaan mengalami personalisasi dan jabatan publik dianggap sebagai milik pribadi.
Dalam konteks budaya negara patrimonial, pengertian korupsi sebagai misuse of power for personal gains sama sekali tak berlaku. Bahkan, di masyarakat tertentu ada anggapan, mengalokasikan sumber daya publik—aset ekonomi produktif, pekerjaan, dan dana publik—kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni merupakan hal yang lumrah karena nilai-nilai budaya yang berlaku adalah personal/communal patrimony. Di sini batasan antara wilayah publik dan pribadi menjadi kabur sehingga korupsi dalam pengertian modern untuk konteks masyarakat demikian menjadi relatif sebagaimana relativitas budaya di masyarakat yang berbeda-beda itu (lihat Akhil Gupta, Blurred Boundaries: The Discourse of Corruption, the Culture of Politics, and the Imagined State, 1995).
Kini, simak ulang 18 modus operandi praktik korupsi di lingkungan pemerintah daerah seperti dilansir Kompas (23/8/2008), yang menunjukkan para pejabat publik mencampuradukkan antara public affairs dan private businesses. Padahal, pemisahan tegas kedua domain/ urusan itu—merujuk tradisi birokrasi Weberian—justru yang mendasari pendefinisian korupsi dalam wacana modernitas. Sungguh, imajinasi negara modern yang merujuk prinsip legal-rasional-kontraktual amat jauh dari alam pikiran para pejabat publik di Indonesia.
Amich Alhumami Sedang Riset untuk Disertasi ”Political Power, Corruption, and Witchcraft in Contemporary Indonesia”. Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
Senin, 15 Desember 2008 | 00:13 WIB
http://cetak.kompas.com

Selasa, 24 Januari 2012

5 Kebiasaan Khusus Bloggers

Aktivitas Blogging ternyata bukan hanya sekedar hobi ataupun tuntutan pekerjaan. Dibalik semua kegiatan perbloggingan yang kita lakukan, banyak sekali manfaat yang akan kita peroleh. Meskipun kenyataannya, masih banyak orang yang tidak menyadari akan hal itu. Manfaat-manfaat  itu nantinya akan menjadi modal yang bagus dan menjadi kelebihan yang hanya dimiliki oleh seorang “blogger sejati”. So, Berbanggalah kalian Sobat Blogger yang menjadi seorang “Blogger Sejati”.  Mengapa “Blogger Sejati” ? karena hanya blogger-blogger yang menulis dengan kemampuannya sendiri yang memiliki kelebihan ini, bukan bloggers yang suka comot artikel orang, hehe. And the last, Inilah 5 kelebihan yang umumnya dimiliki oleh seorang Blogger dan tidak dimiliki orang lain.


1. Memiliki Kebiasaan Membaca
Yap benar, Membaca adalah kunci kesuksesan. Seperti yang kita ketahui , bahwa orang-orang di Jepang memiliki kebiasaan membaca, sehingga tak heran banyak ditemukan orang pintar disana. Sama halnya dengan para Blogger (sejati), untuk dapat membuat suatu tulisan yang bermutu sekaligus berbobot mereka perlu sumber alias perlu referensi bukan ? nah dalam proses riset yang mau ditulis oleh para blogger itu mereka tentu saja harus membaca!. Entah itu buku, artikel lama, koran, majalah ataupun sumber lainnya. Sehingga mustahil seorang Blogger tidak memiliki kebiasaan membaca.

2.Lebih Up-to-date
Inilah dampak tidak langsung dari membaca berbagai sumber informasi . Para Blogger menjadi terbiasa untuk terus memantau perkembangan-perkembangan informasi yang terjadi. Sehingga mayoritas Bloggers aku jamin orangnya Up-to-date. Bloggers ga up-to-date ? apa kata duniaaa….

3. Memiliki Banyak Ilmu
Sebagai orang awam yang masih baru dalam dunia blogging, aku ngga tahu menahu soal tips dan trik SEO, sehingga aku biasanya melakukan blogwalking untuk mempromosikan blogku ini. Nah dalam aktivitas blogwalking itu, biasanya aku berkunjung ke blog temen-temenku. Bayangkan aja jika aku sehari berkunjung ke 30 situs yang berbeda bahkan bisa lebih kalau hari libur dan banyak waktu! Dan di setiap situs itu menampilkan informasi-informasi yang berbeda-beda. Bagaimana Sobat Blogger? tentu akan banyak sekali informasi dan ilmu yang akan kita dapatkan, bukan ? Apalagi para pakar-pakar SEO atau pun owner blog tutorial, so pasti mereka memiliki ilmu yang bejibun di kepala mereka, hihi

4. Lebih Kreatif
Seperti yang aku bilang diatas, bahwa kelebihan-kelebihan ini mungkin hanya dimiliki oleh Bloggers yang sesungguhnya, bukan yang sukanya copy-paste artikel orang. Lebih Kreatif, itulah kelebihan lainnya yang dimiliki Bloggers. Bagaimana tidak ? para Bloggers tentu saja harus berpikir bagaimana agar tulisannya bisa menarik, enak dibaca, dan tidak membosankan. Mereka juga harus memikirkan bagaimana agar banyak pengunjung datang ke blog mereka, mereka juga selalu memikirkan bagaimana agar blognya lebih dikenal dan berbagai macam problem dalam dunia blog yang pasti mereka pikirkan. Dengan berbagai macam hal yang dipikirkan itu serta ditambah lagi persaingan di dunia blog yang tidak mudah, mereka dituntut untuk kreatif. Mereka dituntut untuk memberikan sesuatu yang berbeda, sehingga inovasi-inovasi baru memang sangat dibutuhkan. Secara tidak sadar, atmosfer persaingan itu akan menjadikan para Bloggers menjadi lebih kreatif.

5.Suka Tantangan
Aku bingung mau ngasi judul apa yang pas buat poin nomer 5 ini. Tapi mungkin “suka tantangan” udah lumayan ..hehe. Suka tantangan disini bukan berarti suka climbing, panjat pohon, traveling dan menjelajah alam. Suka tantangan disini lebih kepada mencoba hal-hal yang baru. Ini aku alami sendiri ketika pertama kali membuat blog, aku berpikir dalam hati, bisa ngga ya blogku nanti kaya blog ini. Ada sensasi tersendiri loh ketika blog yang kita kelola mengalami peningkatan. Tetapi, namanya manusia, emang ngga pernah puas. Setelah menguasai coding HTML dan menghias tema blog misalnya, kepingin belajar SEO, setelah bisa SEO pengen bisa dapet duit dari internet, begitu setererusnya. Nah keinginan untuk bisa belajar sesuatu yang baru, untuk bisa menyelesaikan masalah yang baru itulah yang disebut dengan “Suka Tantangan”. Mungkin ngga semua Sobat Blogger setuju sama pendapatku diatas, “aku buat blog cuma buat hobi aja kok, buat tempat menuliskan tulisanku yang ngga perlu optimasi SEO” apakah orang tersebut masih dianggap memiliki jiwa Suka Tantangan seorang Blogger. Tentu ! masa ngga kepingin seih tulisannya berkembang dan dilirik sama penerbit, hehe ^^

Mungkin ngga semua Bloggers mutlak memiliki ke-5 kelebihan diatas, tulisan diatas ditulis menurut pendapatku dengan sedikit riset, jadi mohon dimaklumi apabila ada kesalahan, hehe *melas. Oh iya, kalo mau ngasih masukan boleh kok, tingalin aja koment dibawah, aku menerima semua masukan kok. segitu dulu aja kali ya pendapatku tentang kelebihan yang dimiliki oleh seorang bloggers yang nnga dimiliki oleh orang biasa. See yo next time Sobat Blogger! Bye !

Rabu, 21 September 2011

Refleksi sejarah: Pertanian dan Antropologi

Di masa lampau, sekitar dasawarsa 70-an dan 80-an, orientasi pengembangan program-program Uncen mengacu kepada pengembangan tanaman-tanaman pertanian asli (ubi jalar, talas dsb.) yang inherent dengan pembangunan pedesaan (suku-suku asli Papua di kampung-kampung pedalaman). Hal tersebut tersirat dan tersurat jelas dalam Pola Ilmiah Pokok (PIP) Universitas Cenderawasih pada waktu itu yaitu Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian. Sejak awal pembangunan Tanah Papua, telah diketahui pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang perlu dijabarkan bersama-sama dengan Kajian-kajian Pertanian  dalam rangka meningkatkan taraf hidup Masyarakat Asli di Papua.  
Relevansi dan implikasi Antropologi dan Pertanian dalam Pembangunan Tanah Papua dijelaskan dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987), pada Bab Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000  (1987) oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31) yang saya kutip:
 " ............  Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut mewarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya. 
 Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya berjauhan dan kondisi sosio-budaya penduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam ….
 Berkaitan dengan prevalensi pertanian bahan pangan asli Papua (ubijalar, keladi dan sagu) pada masa itu Universitas Cenderawasih menyelenggarakan berbagai kegiatan di mana Institut Pertanian Bogor turut berperan.  Dapat dikisahkan antara lain hal-hal berikut. 
Salah seorang peneliti dari IPB, Sdr Dr Ir Fred Rumawas, terlibat dalam penelitian pemuliaan tanaman petatas (ubi jalar) di daratan tinggi Baliem, dalam upaya memperoleh strain  ubi jalar yang lebih  tinggi kandungan proteinnya (> 3 persen).  Hipotesis bahwa petatas di dataran tinggi (800 - 1600 m dpl.) merupakan makanan pokok orang asli Papua sedangkan tidak ada jenis makanan sumber protein lainnya, kecuali ternak babi yang hanya dikonsumsi pada peristiwa-peristiwa khusus. Hal ini berarti penduduk pedalaman dataran tinggi Baliem sebagian besar mengandalkan protein dalam gizinya dari kandungan protein dalam ubi jalar. 
Selanjutnya, staf Uncen Manokwari (sekarang UNIPA) Sdr Dr Ir Sunarto (S2 dari Agronomi IPB), lebih mengkhususkan penelitiannya kepada jenis-jenis kastela (keladi), makanan pokok orang asli Papua yang hidup di lereng-lereng pada ketinggian 300 – 800 m dpl.
Di dataran rendah, daerah pantai dan rawa (< 300 m dpl.). sagu dianggap sangat penting karena merupakan makanan pokok bagi penduduk asli Papua.  Banyak di antara peneliti Uncen Jayapura maupun Uncen Manokwari terlibat dalam kajian-kajian masalah sagu, baik dari aspek sosio-antropologi, maupun teknis pertaniannya.  Proyek Sagu Nasional di era Prof Dr B J Habibie menjabat Menristek, berdasarkan survei-survei yang dilakukan pada masa itu menempatkan Papua sebagai daerah yang memiliki potensi sagu paling besar di Indonesia, diikuti propinsi Riau.  Proyek sagu ini diketuai oleh Prof Dr Achmad Satari (mantan Rektor IPB).  
Arsip Agrarisch Proefstation Manokwari (sekarang menjadi bagian dari Universitas Papua) menunjukkan bahwa peneliti pertanian Belanda pada masa penjajahan telah mencanangkan ”polder plan rice estate” di daerah Merauke pada awal dasawarsa 1960-an. Di dataran rendah Merauke juga di masa Gubernur (Almarhum) Drs Busiri (tahun 1980-an) pernah direncanakan pembangunan perkebunan tebu, karena keadaan iklim musimnya (monsoon) dan topografi yang cocok untuk itu.
Penelitian Antropologi dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan dilakukan di banyak daerah pedalaman Tanah Papua oleh tenaga UNCEN-SIL (kerjasama Universitas Cenderawasih dengan The Summer Institute of Linguistics, 1976 – 1990).    
Itulah sekilas lintasan masa lampau -- kiprah pembangunan yang dilakoni Universitas Cenderawasih yang saya anggap perlu diungkap – bukan untuk rujukan atau acuan kita  melangkah ke depan tetapi  sebagai bagian dari catatan sejarah pembangunan Tanah Papua. Pembangunan adalah perubahan dan kita tidak perlu merujuk masa lampau, tapi kita tetap bertumpu pada apa yang  telah dimulai.
Kini keberhasilan pembangunan di Tanah Papua sudah mulai tampak walaupun mungkin masih sangat jauh dari harapan. Hal yang menonjol terutama adalah peran putra daerah dalam kepemimpinan yang semakin prevalen, suasana perkotaan semakin ramai dan tampak lebih baik kondisi ekonominya, namun masyarakat rural di kampung-kampung pedalaman masih belum banyak terjamah pembangunan.  Inilah kenyataan yang menjadi perhatian utama kita – bagaimana memberdayakan masyarakat rural yang miskin, menjadikan mereka warga yang industrious dan mandiri.

Selasa, 20 September 2011

Cerita Banjir (Air Bah) Di Wandamen Catatan : Ini Adalah Sinopsis Dari Cerita Rakyat Yang Ditemukan Ongkodharma Pada Tahun 1983.


Pada suatu ketika hiduplah seorang wanita muda bernama Indorani. Hidupnya sederhana dan sebelum bersuami, ia hamil. Pada suatu hari yang indah ketika burung0burung sedang berkicau, indorani melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan menamakannnya Manawasi.
Pada hari yang ketiga, langit sangat gelap dan guntur menggelegar. Awan-awan berkumpul dan dimana-mana sangat gelap. Gelegar guntur terdengar dari seluruh bumi gelap dan hujan deras turun. Sungai-sungai mulai meluap dan orang mulai ditenggelamkan oleh air. Orang berbondong-bondong naik semakin tinggi. Banyak korban karena air yang mengganaskan itu.
Di daerah yang paling tinggi ada pohon raksasa yang berdiri kokoh. Pohon ini lebih tinggi dari pada air bah. Di pohon inilah Indorani dan dua orang temannya tergantung dengan selamat. Satu temannya adalah burung Cenderawasih dan satunya lagi adalah roh hidup yang berbentuk seekor  burung besar yang tidak ada namanya. Burung Cenderawasih dengan setia menolong Indorani dan mengambilkannya makanan dan air minum sedangkan burung yang besar itu melindunginya dari hujan dan angin ribut.
Setelah 40 hari dan 40 malam, matahari mulai menyinari daerah sekeliling yang menakutkan itu. Matahari bersinar terang dan angin mulai meniup ke seluruh penjuru dunia. Air bah itu menurun dan sedikit dan demi sedikit tanah di bawah pohon raksasa itu menjadi kering. Daerah ini disebut Sobiar. Indorani hamil anak keduanya lagi. Ketika waktunya hendak melahirkan, dia turun dari pohon. Di bawah pohon yang aman itu, dia melahirkan anaknya yang diberi nama Surui.
Dekat tempat itu ada gunung bernama Orbuan atau gunung karang, pada waktu itu  di atas gunung ini medarat sebuah kapal besar bernama Waipori yang mendarat ketika ketika air bah turun. Di kapal itu bekerja Tubopi dan isterinya Wisopi. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki yang sudah menikah dan berkeluarga.
Ketika air bah menanti, mereka semua keluar dengan banyak pasangan binatang yang juga berada di kapal itu. Kapal itu juga membawa banyak makanan untuk setiap binatang dan manusia. Ketika mereka meninggalkan kapal itu, mereka sangat ribut sehingga terdengar oleh Indorani. Mereka semuanya bertemu di kapal yang bernama Waipori. Tubopi bersukacita melihat Indorani dan memintanya tinggal dengan mereka. Indorani menerima itu tawaran itu dan menjadi bagian dari keluarganya. Mereka hidup damai dan sentosa selama-lamanya.

Sumber : Kelompok Peneliti Etnografi 1993; Etnografi Irian Jaya “panduan social budaya”.

Minggu, 03 Juli 2011

Perang Bintang 2011 : AJANG PEMBUKTIAN BOAZ

Performa Persipura Jayapura luar biasa pada Djarum Indonesia Super League (ISL) 2010/2011. Status juara disabet klub berjuluk Mutiara Hitam itu tiga pekan sebelum ISL ditutup.
Persipura juga unggul delapan angka dari dua rival terdekatnya saat jadi yang terbaik.Anak asuh Jacksen F Tiago itu pun ingin melengkapi kejayaannya musim ini dengan memburu kemenangan pada Perang Bintang 2011.
Ajang ini merupakan puncak selebrasi ISL,yang mempertemukan Mutiara Hitam dengan tim All Stars yang diisi sejumlah bintang ISL musim ini hasil polling SMS. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Mandala,Jayapura, sore ini, juga jadi pembuktian bagi Boaz Solossa. Kapten Persipura yang tampil cukup menawan musim ini sukses merebut gelar pemain paling produktif dengan 22 gol.
Setelah top skor di tangannya,pemain yang pernah mengalami cedera patah tulang fibula pada 2007 itu ingin melengkapi suksesnya dan Persipura. Pemain terbaik ISL adalah target Boaz selanjutnya. Penampilan menawan pada Perang Bintang bisa menjadi menambah nilai untuk Boaz dalam perebutan gelar ini.
Saingan pemain yang akrab disapa Bochi ini adalah striker Persija Jakarta Bambang ’Bepe’ Pamungkas dan Aldo Baretto,penyerang impor Persiba Balikpapan. Jacksen menyebut peluang Boaz seharusnya lebih besar daripada dua pesaingnya.Menurut dia,saingan pemain asal Sorong itu disebut sang arsitek adalah Greg Nwokolo.Tapi, gelandang serang Persija itu tak masuk nominasi.

”Greg sebenarnya layak jadi nominasi pemain terbaik.Perannya sangat vital untuk Persija musim ini.Tapi, dia tak masuk nominasi.Jika Greg masuk daftar calon pemain terbaik, dia saingan berat Boaz,”kata Jacksen. Tapi, sedikit bocoran siapa yang merebut pemain terbaik datang dari Manajer TI dan Komunikasi PT Liga Indonesia (Liga) Azwan Kharim.
Menurut Azwan, penjurian pemain terbaik masih akan melakukan rapat terakhir di Jayapura jelang Perang Bintang. Hanya, tim juri yang dipimpin Yopie Lepel diakui Azwan sedikit condong ke pemain lokal. ”Boaz dan Bepe bersaing. Tapi,Boaz unggul dengan tugasnya sebagai kapten Persipura dijalankannya dengan bagus musim ini.
Tapi,untuk Bepe, musim ini dia lebih sering jadi pemain cadangan,”tutur Azwan. Untuk pertandingan Persipura kontra tim All Stars,Jacksen mengatakan pasukannya siap tempur.Tapi, tiga nama absen pada laga yang disiarkan langsung antvmulai pukul 15.30 WIB,yaitu Hamka Hamzah, Emanuel Wanggai, dan Ricardo Salampessy.
”Skema kami mungkin sama,tapi cara main yang akan berbeda.Saya ingin pemain melakukan improvisasi sesuai kemampuannya untuk menyulitkan lawan,”kata Jacksen. Dari tim All Stars,Pelatih Nil Maizar mengatakan,skema 4-3-3 atau 3-5-2 kemungkinan akan dipakai.
”Bepe sudah bergabung sehingga membuat pilihan semakin banyak.Tapi, di tim ini setiap pemain memiliki keistimewaan sebagai bintang.Mungkin karakter mereka sudah diketahui pemain Persipura, itu yang kami waspadai,”tandas arsitek Semen Padang ini. wahyu argia/ decky jasri.

http://12paz.blogspot.com/

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA JURUSAN ANTROPOLOGI UNCEN

Buku Kenangan Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih 62-87  (Jayapura, 1987). Universitas Cenderawasih (disingkat UNCEN) didirikan pada tanggal 10 November 1962 di Kotabaru (Jayapura sekarang) didasarkan atas Keputusan bersama WAMPA/Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962 tanggal 10 November 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 389 tanggal 31 Desember 1962. Pada waktu didirikan Universitas Cenderawasi terdiri atas dua Fakultas,  pertama Fakultas Hukum Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (disingkat FHKK) dengan jurusan: Hukum, Ketatanegaraan dan Ketataniagaan. Sedangkan Fakultas yang kedua adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (disingkat FKIP) yang memiliki Jurusan Bahasa,dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris dsb. Pada tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Keputusan Menteri PTIP nomor 82 tanggal 20 Juli 1963,  di lingkungan Universitas Cenderawasih telah dibuka sebuah Lembaga yang setingkat dengan Fakultas, yaitu Lembaga Antropologi (disingkat LA) yang mempunyai bagian: Penelitian, Perpustakaan, Permuseuman, Pendidikan dan Tatausaha. 
Pada tanggal 5 Oktober 1964 di lingkungan Universitas Cenderawasih dibuka Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan  (disingkat FPPK) berkedudukan di Manokwari ddengan pertimbangan bahwa Manokwari mempunyai daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian di samping telah ada Lembaga Penelitian dan Pendidikan Pertanian Manokwari (LP3M) yang didirikan  Pemerintah Belanda pada tahun 1961 (Agrarisch Proefstation Manokwari). LP3M ini kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 60/GIJ/1978, sejak tahun 1978 diintegrasikan ke dalam Universitas Cenderawasih.  
Dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987)" tersebut, karena pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang memang sejak dahulu sudah diidentifikasi, dan sampai sekarang kita masih perlu menjabarkannya dalam Kajian-kajian Pengembangan Masyarakat Asli di Papua. 
"Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut diwarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya.  Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis terdapat di daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya seringkali berjauhan dan kondisi sosio-budaya prnduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam agar unsur-unsur budaya ini kelak dapat lebih dimanfaatkan untuk pembangunan negara. "   dari: Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000, oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31. --  1987 op. cit.)
Antropologi sebagai salah satu program studi di Universitas Cenderawasih dimulai pada tahun 1978, dibuka berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor : P-03/A1/1978 pada tanggal 9 Januari 1978. Program Studi yang akan mendidik dan melatih calon-calon peneliti dalam bidang Antropologi untuk mengisi kekurangan tenaga peneliti di daerah Irian jaya. Dengan beberapa pertimbangan kemudian program studi tersebut berubah menjadi program studi sampai tingkat Sarjana Muda sesuai dengan Universitas yang pada waktu itu masih Tergolong Universitas Muda.
Mula-mula program studi Antropologi digabung dengan program studi Linguistik di dalam satu jurusan yang diberi nama Jurusan Linguistik dan Jurusan Antropologi. Penggabungan dua cabang ilmu itu dalam satu jurusan dimaksudkan sebagai suatu keputusan yang akan dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan dilatar belakangi oleh banyaknya suku bangsa dan banyaknya bahasa di daerah irian Jaya ini. Disamping itu penggabungan dua bidang ilmu dan pengelolaannya diharapkan bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari program kerja sama Universitas Cenderawasih – Summer Institute of Linguistics (SIL).
Administrasi maupun kegiatan akademik jurusan Antropologi dan Linguistik sampai tahun 1981 ditangani oleh Lembaga Antropologi, tetapi sejak tahun ajaran 1981/1984 dialihkan ke Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES) yang kemudian berdasarkan PP.No.05 Tahun 1980 berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). 
Adanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud untuk penyelenggaraan pendidikan Antropologi, maka pada tahun ajaran 1983/1984 kurikulum pada jurusan Linguistik dan Antropologi harus dirubah. Semua mata kuliah Linguistik dihapuskan dari kurikulum. Karena tidak sesuai dengan kurikulum inti yang ditetapkan oleh Depdikbud. Perubahan kurikulum itu membawa konsekuensi terhadap nama jurusan, sehingga nama dirubah menjadi Jurusan Antropologi.

Jumat, 01 Juli 2011

KETIKA MASYARAKAT KEHILANGAN RUJUKAN PERANAN BUDAYAWAN SANGAT MENENTUKAN

 Oleh:
Wisran Hadi

Marilah kita mulai pembicaraan tentang kebudayaan ini dari sesuatu yang tidak berbudaya. Tentang hikayat seekor ayam. Ayam sebagai jenis burung yang halal dimakan, akan dapat jadi haram apabila diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan ketentuan agama. Ayam yang secara material adalah halal namun jika dipotong tanpa mengucapkan bismillah, ayam yang telah dipotong itu langsung jadi haram untuk dimakan. Di sini berarti, bahwa perlakuan atau proses adalah sesuatu yang sangat menentukan. Perlakuan yang salah akan menyebabkan suatu material berobah status hukumnya dari halal menjadi haram.
Begitulah perlakuan masyarakat kita sekarang terhadap kebudayaan. Mereka lebih memandang kepada ayamnya, materialnya, sosoknya, wujudnya, bukan kepada perlakuan atau proses penyembelihannya. Artinya, masyarakat kita lebih percaya kepada material yang secara umumnya halal, bukan kepada perlakuan yang menyebabkan material menjadi haram. Semua itu dapat dilihat pada perlakuan atau proses pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, budaya dan seni.
Pola hidup masyarakat yang serba materialistik, hedonistik dan konsumtif merupakan presentasi perpanjangan dari hikayat seekor ayam tadi. Masyarakat semakin hari semakin mengagungkan kebendaan. Mereka memberhalakan sesuatu hasil, tanpa mau mengikuti proses yang benar. Mereka lebih percaya pada apa yang tampak atau apa yang wujud. Segala sesuatu mereka ukur dengan berdasarkan ujudnya. Profesi seseorang tidak dihargai, tetapi sukses atau keberhasilan (terlepas dari bagaimana mereka memperoleh kesuksesan itu) sangat didambakan. Perlakuan atau proses tidak penting, karena pencapaian hasil lebih diutamakan.
Perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat primitif adalah bagaimana mereka menyikapi lingkungannya, bagaimana mereka memperlakukan sesuatu, menyikapi persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya. Dalam kehidupan masyarakat primitif, semuanya harus diwujudkan. Segala sesuatu yang dianggap gaib, seperti dewa-dewa, roh jahat atau roh buruk diwujudkan dalam bentuk-bentuk patung atau lukisan. Mereka memberhalakan bentuk-bentuk. Mereka miskin imajinasi atau dapat dikatakan, mereka tidak mampu mengembangkan imajinasinya. Seseorang dianggap sempurna adalah mereka yang berhasil mengumpulkan segala macam benda, segala macam jenis binatang, ternak, budak dan batu-batuan. Seorang kepala suku dalam masyarakat primitif harus dilihat sebagai makhluk yang keramat dan tidak dapat disamakan dengan manusia biasa. Orang-orang keramat itu terbebas dari segala keburukan, kutukan atau dosa-dosa.
Hal seperti itu pulalah yang kini terjadi dalam masyarakat kita. Masyarakat kita yang sudah dianggap modern ini ternyata hanyalah perpanjangan dari cara berpikir masyarakat primitif. Indikasi cara berpikir primitif tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek. Kesuksesan seorang anak didik ditentukan oleh nilai yang didapat dalam waktu sesaat, bukan oleh sebuah proses belajar yang panjang. Seorang pegawai negeri dinilai bukan dari segi kejujuran, disiplin dan etos kerjanya, tetapi dari sejauh mana mereka dapat merangkul atasannya. Seorang suami dinilai hebat oleh istri dan anaknya, apabila si suami dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tanpa si istri atau anak mempertanyakan proses darimana datangnya kekayaan tersebut. Seorang ulama dinilai dari penampilannya, pangkat dan gelar akademiknya, bukan dari banyaknya jamaah yang mereka tuntun, ketaqwaan dan kebenaran yang diajarkannya. Tokoh-tokoh akademik karena punya gelar akademik yang tinggi kini telah dianggap pula sebagai ulama atau tokoh agama. Mereka boleh berpikir bebas tanpa harus memperhitungkan kesesatan yang dibawanya. Seorang Kiyai ditentukan oleh keturunannya, bukan oleh ilmu agama yang diembannya. Kiyai adalah manusia tanpa dosa, karenanya mereka boleh melakukan apa saja. Seniman lebih dihargai aksi dan penampilan dirinya, bukan pada karya-karya seninya. Seorang budayawan dihargai pada pemunculan dan retorikanya, bukan pada hasil-hasil renungannya untuk mencerahkan kehidupan.
Cara pandang masyarakat primitif yang diteruskan oleh masyarakat yang mengklaim dirinya masyarakat modern itu cukup merisaukan. Terjadi perubahan yang besar terhadap orientasi budaya. Nilai-nilai budaya yang telah diajarkan secara turun temurun untuk diwarisi dan nilai-nilai agama yang telah diajarkan semenjak dini secara perlahan telah bergeser jauh. Rasa malu, rasa keadilan, rasa keindahan, rasa kebersamaan berubah secara total tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Perobahan yang terjadi begitu dahsyat, dianggap sebagai ekses, akibat samping dari kehidupan dunia modern dan globalisasi. Lalu dicarikan kambing hitamnya; mass media. Mass medialah yang dianggap sebagai biang dari masuknya nilai-nilai budaya asing dan budaya pop yang serba instan ke rumah-rumah. Kita tidak pernah menyalahkan diri kita sendiri, bahwa perubahan itu yang terjadi disebabkan oleh sikap budaya dan kesalahan dalam memperlakukan dan memandang nilai-nilai yang lama itu sebagai sesuatu ambigu, nisbi, tidak relevant dengan perkembangan dunia.
Khusus dalam masalah kesenian misalnya, – bidang ini adalah bidang yang tanpa filter dapat dimasuki oleh apa saja coraknya cara berpikir, aliran-aliran politik, keyakinan-keyakinan dan isme-isme lainnya – telah lebih dulu bergeser ke arah pola pikir masyarakat primitif itu tadi. Kesenian sekarang telah dipisahkan dari etika, nilai-nilai dan norma-norma agama. Jika seseorang menuntut agar kesenian harus takluk kepada nilai-nilai adat dan budaya serta norma-norma agama, maka para seniman menampiknya dengan mengatakan; karya seni adalah sebuah produk otonom, terbebas dari nilai-nilai budaya dan agama apapun. Mengukur karya seni harus dengan ukuran karya seni itu sendiri. Seniman tidak perlu harus beragama, harus beradat. Seniman, sebagaimana kiai-kiai tadi, merekapun menganggap diri sebagai manusia steril yang terbebas dari dosa-dosa. Akibat dari perlakuan mereka yang demikian terhadap karya seni, para seniman seakan mendapat legitimasi untuk berbuat apa saja. Mereka dapat melakukan pertunjukan apa saja coraknya, apakah itu melanggar aturan adat, nilai-nilai budaya atau hukum-hukum agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenian kita tidak semakin maju, tetapi semakin mundur, mendekati kehidupan masyarakat primitif. Namun sebaliknya, bagi dunia pariwisata misalnya, semakin budaya masyarakat kembali menjadi primitif, akan semakin menguntungkan sektor ini karena akan semakin banyak turis yang datang. Bagi para politik dan pemerintah, semakin masyarakat itu berpola pikir dan bertingkah laku sebagaimana masyarakat primitif akan semakin mudah mereka menanamkan aliran-aliran politiknya, dan pihak pemerintah semakin mudah memperkokoh kekuasaannya, karena pola masyarakat primitif bergerak pada hasil bukan pada proses. Masyarakat demikian cukup diberi atau disediakan berhala-berhala yang selalu akan mereka sembah setiap hari; kekayaan dan jabatan (melalui KKN), kehidupan yang glamour tanpa rujukan. Orang-orang diberi surprise dengan hasil-hasil yang mendadak, penunjukan-penunjukan yang tiba-tiba dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat yang menghargai proses dan profesionalisme – yang sering disebut sebagai masyarakat yang akademik – menjadi musuh. Masyarakat demikian adalah musuh besar bagi sebuah kekuasaan yang korup.
Analog hikayat seekor ayam dengan pola hidup yang sedang dilakoni sekarang adalah sesuatu sangat merisaukan. Kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dianut berbagai suku yang tersebar seluruh kepulauan di Indonesia yang selama ini “halal”, namun karena diperlakukan secara salah, telah menjadi “haram” untuk kehidupan berikutnya. Kita “haramkan” atau kita tidak setuju terhadap dampak dari nilai-nilai budaya baru sebagai dampak dari cara berpikir masyarakat primitif. Kita mengharamkan judi, korupsi, perzinaan, makanan minuman yang memabukkan, pemalsuan-pemalusan, hilangnya rasa malu dan buyarnya kebersamaan dan lain sebagainya itu, sementara yang kita “haramkan” itu terus dipasarkan ke tengah masyarakat dengan berbagai fasilitas yang diberikan lembaga-lembaga tertentu maupun pemerintah itu sendiri. Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang terjadi di Sumatera Barat dapat dijadikan batu uji, apakah masih ada rasa malu bagi mereka yang telah dituduh dan dihakimi sebagai koruptor. Jika para wakil rakyat Sumatera Barat yang terbukti korupsi itu sudah tidak punya rasa malu lagi, ini sekaligus sebagai bukti bahwa Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang diagung-agungkan selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya sekarang adalah, mampukah kita menggeser paradigma berpikir dari masyarakat primitif kepada cara berpikir masyarakat modern, yang terbuka, jujur, agamis? Masyarakat yang mempunyai daya imajinasi yang kuat dan luas, masyarakat yang menghargai proses terhadap semua perilaku dan tindakan? Sesuatu yang selama ini telah jadi “haram” ulah perlakuan kita terhadap budaya, kembali kita jadikan “halal” sehingga dapat memberikan pencerahan dalam kehidupan? Mengutuki perlakuan dan proses yang salah karena akan dapat menjadikan sesuatu menjadi “haram”. Memberikan ruang yang luas untuk setiap perlakuan dan proses yang benar.
Dalam konteks ini, peranan budayawan, agamawan, ilmuwan menjadi sangat strategis. Mereka harus dapat menjadi tonggak kilometer, sudah sejauh mana perjalanan dan penyimpangan yang telah dilakukan, sekaligus menjadi signboard untuk menentukan arah ke mana masyarakat Indonesia berikutnya melangkah. Para budayawan, agamawan dan ilmuwan harus dapat mensugesti, mengetuk hati nurani dan meyakinkan masyarakatnya dengan bahasa yang logis, sederhana dan mudah dipahami bahwa; kita bukan masyarakat primitif yang liar tanpa rujukan tetapi masyarakat modern yang penuh dipagari oleh tata nilai. 
Semoga Allah swt memberi kekuatan kepada mereka mengucapkannya.
Tulisan ini kirimkan oleh salah seorang teman “Wisran Hadi” pada yahoo group yang yang ditulis dalam Orasi Kebudayaan