Performa Persipura Jayapura luar biasa pada Djarum Indonesia Super League (ISL) 2010/2011. Status juara disabet klub berjuluk Mutiara Hitam itu tiga pekan sebelum ISL ditutup.
Persipura juga unggul delapan angka dari dua rival terdekatnya saat jadi yang terbaik.Anak asuh Jacksen F Tiago itu pun ingin melengkapi kejayaannya musim ini dengan memburu kemenangan pada Perang Bintang 2011.
Ajang ini merupakan puncak selebrasi ISL,yang mempertemukan Mutiara Hitam dengan tim All Stars yang diisi sejumlah bintang ISL musim ini hasil polling SMS. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Mandala,Jayapura, sore ini, juga jadi pembuktian bagi Boaz Solossa. Kapten Persipura yang tampil cukup menawan musim ini sukses merebut gelar pemain paling produktif dengan 22 gol.
Setelah top skor di tangannya,pemain yang pernah mengalami cedera patah tulang fibula pada 2007 itu ingin melengkapi suksesnya dan Persipura. Pemain terbaik ISL adalah target Boaz selanjutnya. Penampilan menawan pada Perang Bintang bisa menjadi menambah nilai untuk Boaz dalam perebutan gelar ini.
Saingan pemain yang akrab disapa Bochi ini adalah striker Persija Jakarta Bambang ’Bepe’ Pamungkas dan Aldo Baretto,penyerang impor Persiba Balikpapan. Jacksen menyebut peluang Boaz seharusnya lebih besar daripada dua pesaingnya.Menurut dia,saingan pemain asal Sorong itu disebut sang arsitek adalah Greg Nwokolo.Tapi, gelandang serang Persija itu tak masuk nominasi.
”Greg sebenarnya layak jadi nominasi pemain terbaik.Perannya sangat vital untuk Persija musim ini.Tapi, dia tak masuk nominasi.Jika Greg masuk daftar calon pemain terbaik, dia saingan berat Boaz,”kata Jacksen. Tapi, sedikit bocoran siapa yang merebut pemain terbaik datang dari Manajer TI dan Komunikasi PT Liga Indonesia (Liga) Azwan Kharim.
Menurut Azwan, penjurian pemain terbaik masih akan melakukan rapat terakhir di Jayapura jelang Perang Bintang. Hanya, tim juri yang dipimpin Yopie Lepel diakui Azwan sedikit condong ke pemain lokal. ”Boaz dan Bepe bersaing. Tapi,Boaz unggul dengan tugasnya sebagai kapten Persipura dijalankannya dengan bagus musim ini.
Tapi,untuk Bepe, musim ini dia lebih sering jadi pemain cadangan,”tutur Azwan. Untuk pertandingan Persipura kontra tim All Stars,Jacksen mengatakan pasukannya siap tempur.Tapi, tiga nama absen pada laga yang disiarkan langsung antvmulai pukul 15.30 WIB,yaitu Hamka Hamzah, Emanuel Wanggai, dan Ricardo Salampessy.
”Skema kami mungkin sama,tapi cara main yang akan berbeda.Saya ingin pemain melakukan improvisasi sesuai kemampuannya untuk menyulitkan lawan,”kata Jacksen. Dari tim All Stars,Pelatih Nil Maizar mengatakan,skema 4-3-3 atau 3-5-2 kemungkinan akan dipakai.
”Bepe sudah bergabung sehingga membuat pilihan semakin banyak.Tapi, di tim ini setiap pemain memiliki keistimewaan sebagai bintang.Mungkin karakter mereka sudah diketahui pemain Persipura, itu yang kami waspadai,”tandas arsitek Semen Padang ini. wahyu argia/ decky jasri.
http://12paz.blogspot.com/
Minggu, 03 Juli 2011
SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA JURUSAN ANTROPOLOGI UNCEN
Buku Kenangan Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih 62-87 (Jayapura, 1987). Universitas Cenderawasih (disingkat UNCEN) didirikan pada tanggal 10 November 1962 di Kotabaru (Jayapura sekarang) didasarkan atas Keputusan bersama WAMPA/Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962 tanggal 10 November 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 389 tanggal 31 Desember 1962. Pada waktu didirikan Universitas Cenderawasi terdiri atas dua Fakultas, pertama Fakultas Hukum Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (disingkat FHKK) dengan jurusan: Hukum, Ketatanegaraan dan Ketataniagaan. Sedangkan Fakultas yang kedua adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP) yang memiliki Jurusan Bahasa,dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris dsb. Pada tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Keputusan Menteri PTIP nomor 82 tanggal 20 Juli 1963, di lingkungan Universitas Cenderawasih telah dibuka sebuah Lembaga yang setingkat dengan Fakultas, yaitu Lembaga Antropologi (disingkat LA) yang mempunyai bagian: Penelitian, Perpustakaan, Permuseuman, Pendidikan dan Tatausaha.
Pada tanggal 5 Oktober 1964 di lingkungan Universitas Cenderawasih dibuka Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan (disingkat FPPK) berkedudukan di Manokwari ddengan pertimbangan bahwa Manokwari mempunyai daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian di samping telah ada Lembaga Penelitian dan Pendidikan Pertanian Manokwari (LP3M) yang didirikan Pemerintah Belanda pada tahun 1961 (Agrarisch Proefstation Manokwari). LP3M ini kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 60/GIJ/1978, sejak tahun 1978 diintegrasikan ke dalam Universitas Cenderawasih.
Dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987)" tersebut, karena pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang memang sejak dahulu sudah diidentifikasi, dan sampai sekarang kita masih perlu menjabarkannya dalam Kajian-kajian Pengembangan Masyarakat Asli di Papua.
"Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu: 1. Antropologi, 2. Ilmu-ilmu Pertanian. Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut diwarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya. Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis terdapat di daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya seringkali berjauhan dan kondisi sosio-budaya prnduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam agar unsur-unsur budaya ini kelak dapat lebih dimanfaatkan untuk pembangunan negara. " dari: Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000, oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31. -- 1987 op. cit.)
Antropologi sebagai salah satu program studi di Universitas Cenderawasih dimulai pada tahun 1978, dibuka berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor : P-03/A1/1978 pada tanggal 9 Januari 1978. Program Studi yang akan mendidik dan melatih calon-calon peneliti dalam bidang Antropologi untuk mengisi kekurangan tenaga peneliti di daerah Irian jaya. Dengan beberapa pertimbangan kemudian program studi tersebut berubah menjadi program studi sampai tingkat Sarjana Muda sesuai dengan Universitas yang pada waktu itu masih Tergolong Universitas Muda.
Mula-mula program studi Antropologi digabung dengan program studi Linguistik di dalam satu jurusan yang diberi nama Jurusan Linguistik dan Jurusan Antropologi. Penggabungan dua cabang ilmu itu dalam satu jurusan dimaksudkan sebagai suatu keputusan yang akan dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan dilatar belakangi oleh banyaknya suku bangsa dan banyaknya bahasa di daerah irian Jaya ini. Disamping itu penggabungan dua bidang ilmu dan pengelolaannya diharapkan bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari program kerja sama Universitas Cenderawasih – Summer Institute of Linguistics (SIL).
Administrasi maupun kegiatan akademik jurusan Antropologi dan Linguistik sampai tahun 1981 ditangani oleh Lembaga Antropologi, tetapi sejak tahun ajaran 1981/1984 dialihkan ke Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES) yang kemudian berdasarkan PP.No.05 Tahun 1980 berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Adanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud untuk penyelenggaraan pendidikan Antropologi, maka pada tahun ajaran 1983/1984 kurikulum pada jurusan Linguistik dan Antropologi harus dirubah. Semua mata kuliah Linguistik dihapuskan dari kurikulum. Karena tidak sesuai dengan kurikulum inti yang ditetapkan oleh Depdikbud. Perubahan kurikulum itu membawa konsekuensi terhadap nama jurusan, sehingga nama dirubah menjadi Jurusan Antropologi.
Jumat, 01 Juli 2011
KETIKA MASYARAKAT KEHILANGAN RUJUKAN PERANAN BUDAYAWAN SANGAT MENENTUKAN
Oleh:
Wisran Hadi
Marilah kita mulai pembicaraan tentang kebudayaan ini dari sesuatu yang tidak berbudaya. Tentang hikayat seekor ayam. Ayam sebagai jenis burung yang halal dimakan, akan dapat jadi haram apabila diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan ketentuan agama. Ayam yang secara material adalah halal namun jika dipotong tanpa mengucapkan bismillah, ayam yang telah dipotong itu langsung jadi haram untuk dimakan. Di sini berarti, bahwa perlakuan atau proses adalah sesuatu yang sangat menentukan. Perlakuan yang salah akan menyebabkan suatu material berobah status hukumnya dari halal menjadi haram.
Begitulah perlakuan masyarakat kita sekarang terhadap kebudayaan. Mereka lebih memandang kepada ayamnya, materialnya, sosoknya, wujudnya, bukan kepada perlakuan atau proses penyembelihannya. Artinya, masyarakat kita lebih percaya kepada material yang secara umumnya halal, bukan kepada perlakuan yang menyebabkan material menjadi haram. Semua itu dapat dilihat pada perlakuan atau proses pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, budaya dan seni.
Pola hidup masyarakat yang serba materialistik, hedonistik dan konsumtif merupakan presentasi perpanjangan dari hikayat seekor ayam tadi. Masyarakat semakin hari semakin mengagungkan kebendaan. Mereka memberhalakan sesuatu hasil, tanpa mau mengikuti proses yang benar. Mereka lebih percaya pada apa yang tampak atau apa yang wujud. Segala sesuatu mereka ukur dengan berdasarkan ujudnya. Profesi seseorang tidak dihargai, tetapi sukses atau keberhasilan (terlepas dari bagaimana mereka memperoleh kesuksesan itu) sangat didambakan. Perlakuan atau proses tidak penting, karena pencapaian hasil lebih diutamakan.
Perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat primitif adalah bagaimana mereka menyikapi lingkungannya, bagaimana mereka memperlakukan sesuatu, menyikapi persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya. Dalam kehidupan masyarakat primitif, semuanya harus diwujudkan. Segala sesuatu yang dianggap gaib, seperti dewa-dewa, roh jahat atau roh buruk diwujudkan dalam bentuk-bentuk patung atau lukisan. Mereka memberhalakan bentuk-bentuk. Mereka miskin imajinasi atau dapat dikatakan, mereka tidak mampu mengembangkan imajinasinya. Seseorang dianggap sempurna adalah mereka yang berhasil mengumpulkan segala macam benda, segala macam jenis binatang, ternak, budak dan batu-batuan. Seorang kepala suku dalam masyarakat primitif harus dilihat sebagai makhluk yang keramat dan tidak dapat disamakan dengan manusia biasa. Orang-orang keramat itu terbebas dari segala keburukan, kutukan atau dosa-dosa.
Hal seperti itu pulalah yang kini terjadi dalam masyarakat kita. Masyarakat kita yang sudah dianggap modern ini ternyata hanyalah perpanjangan dari cara berpikir masyarakat primitif. Indikasi cara berpikir primitif tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek. Kesuksesan seorang anak didik ditentukan oleh nilai yang didapat dalam waktu sesaat, bukan oleh sebuah proses belajar yang panjang. Seorang pegawai negeri dinilai bukan dari segi kejujuran, disiplin dan etos kerjanya, tetapi dari sejauh mana mereka dapat merangkul atasannya. Seorang suami dinilai hebat oleh istri dan anaknya, apabila si suami dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tanpa si istri atau anak mempertanyakan proses darimana datangnya kekayaan tersebut. Seorang ulama dinilai dari penampilannya, pangkat dan gelar akademiknya, bukan dari banyaknya jamaah yang mereka tuntun, ketaqwaan dan kebenaran yang diajarkannya. Tokoh-tokoh akademik karena punya gelar akademik yang tinggi kini telah dianggap pula sebagai ulama atau tokoh agama. Mereka boleh berpikir bebas tanpa harus memperhitungkan kesesatan yang dibawanya. Seorang Kiyai ditentukan oleh keturunannya, bukan oleh ilmu agama yang diembannya. Kiyai adalah manusia tanpa dosa, karenanya mereka boleh melakukan apa saja. Seniman lebih dihargai aksi dan penampilan dirinya, bukan pada karya-karya seninya. Seorang budayawan dihargai pada pemunculan dan retorikanya, bukan pada hasil-hasil renungannya untuk mencerahkan kehidupan.
Cara pandang masyarakat primitif yang diteruskan oleh masyarakat yang mengklaim dirinya masyarakat modern itu cukup merisaukan. Terjadi perubahan yang besar terhadap orientasi budaya. Nilai-nilai budaya yang telah diajarkan secara turun temurun untuk diwarisi dan nilai-nilai agama yang telah diajarkan semenjak dini secara perlahan telah bergeser jauh. Rasa malu, rasa keadilan, rasa keindahan, rasa kebersamaan berubah secara total tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Perobahan yang terjadi begitu dahsyat, dianggap sebagai ekses, akibat samping dari kehidupan dunia modern dan globalisasi. Lalu dicarikan kambing hitamnya; mass media. Mass medialah yang dianggap sebagai biang dari masuknya nilai-nilai budaya asing dan budaya pop yang serba instan ke rumah-rumah. Kita tidak pernah menyalahkan diri kita sendiri, bahwa perubahan itu yang terjadi disebabkan oleh sikap budaya dan kesalahan dalam memperlakukan dan memandang nilai-nilai yang lama itu sebagai sesuatu ambigu, nisbi, tidak relevant dengan perkembangan dunia.
Khusus dalam masalah kesenian misalnya, – bidang ini adalah bidang yang tanpa filter dapat dimasuki oleh apa saja coraknya cara berpikir, aliran-aliran politik, keyakinan-keyakinan dan isme-isme lainnya – telah lebih dulu bergeser ke arah pola pikir masyarakat primitif itu tadi. Kesenian sekarang telah dipisahkan dari etika, nilai-nilai dan norma-norma agama. Jika seseorang menuntut agar kesenian harus takluk kepada nilai-nilai adat dan budaya serta norma-norma agama, maka para seniman menampiknya dengan mengatakan; karya seni adalah sebuah produk otonom, terbebas dari nilai-nilai budaya dan agama apapun. Mengukur karya seni harus dengan ukuran karya seni itu sendiri. Seniman tidak perlu harus beragama, harus beradat. Seniman, sebagaimana kiai-kiai tadi, merekapun menganggap diri sebagai manusia steril yang terbebas dari dosa-dosa. Akibat dari perlakuan mereka yang demikian terhadap karya seni, para seniman seakan mendapat legitimasi untuk berbuat apa saja. Mereka dapat melakukan pertunjukan apa saja coraknya, apakah itu melanggar aturan adat, nilai-nilai budaya atau hukum-hukum agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenian kita tidak semakin maju, tetapi semakin mundur, mendekati kehidupan masyarakat primitif. Namun sebaliknya, bagi dunia pariwisata misalnya, semakin budaya masyarakat kembali menjadi primitif, akan semakin menguntungkan sektor ini karena akan semakin banyak turis yang datang. Bagi para politik dan pemerintah, semakin masyarakat itu berpola pikir dan bertingkah laku sebagaimana masyarakat primitif akan semakin mudah mereka menanamkan aliran-aliran politiknya, dan pihak pemerintah semakin mudah memperkokoh kekuasaannya, karena pola masyarakat primitif bergerak pada hasil bukan pada proses. Masyarakat demikian cukup diberi atau disediakan berhala-berhala yang selalu akan mereka sembah setiap hari; kekayaan dan jabatan (melalui KKN), kehidupan yang glamour tanpa rujukan. Orang-orang diberi surprise dengan hasil-hasil yang mendadak, penunjukan-penunjukan yang tiba-tiba dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat yang menghargai proses dan profesionalisme – yang sering disebut sebagai masyarakat yang akademik – menjadi musuh. Masyarakat demikian adalah musuh besar bagi sebuah kekuasaan yang korup.
Analog hikayat seekor ayam dengan pola hidup yang sedang dilakoni sekarang adalah sesuatu sangat merisaukan. Kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dianut berbagai suku yang tersebar seluruh kepulauan di Indonesia yang selama ini “halal”, namun karena diperlakukan secara salah, telah menjadi “haram” untuk kehidupan berikutnya. Kita “haramkan” atau kita tidak setuju terhadap dampak dari nilai-nilai budaya baru sebagai dampak dari cara berpikir masyarakat primitif. Kita mengharamkan judi, korupsi, perzinaan, makanan minuman yang memabukkan, pemalsuan-pemalusan, hilangnya rasa malu dan buyarnya kebersamaan dan lain sebagainya itu, sementara yang kita “haramkan” itu terus dipasarkan ke tengah masyarakat dengan berbagai fasilitas yang diberikan lembaga-lembaga tertentu maupun pemerintah itu sendiri. Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang terjadi di Sumatera Barat dapat dijadikan batu uji, apakah masih ada rasa malu bagi mereka yang telah dituduh dan dihakimi sebagai koruptor. Jika para wakil rakyat Sumatera Barat yang terbukti korupsi itu sudah tidak punya rasa malu lagi, ini sekaligus sebagai bukti bahwa Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang diagung-agungkan selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya sekarang adalah, mampukah kita menggeser paradigma berpikir dari masyarakat primitif kepada cara berpikir masyarakat modern, yang terbuka, jujur, agamis? Masyarakat yang mempunyai daya imajinasi yang kuat dan luas, masyarakat yang menghargai proses terhadap semua perilaku dan tindakan? Sesuatu yang selama ini telah jadi “haram” ulah perlakuan kita terhadap budaya, kembali kita jadikan “halal” sehingga dapat memberikan pencerahan dalam kehidupan? Mengutuki perlakuan dan proses yang salah karena akan dapat menjadikan sesuatu menjadi “haram”. Memberikan ruang yang luas untuk setiap perlakuan dan proses yang benar.
Dalam konteks ini, peranan budayawan, agamawan, ilmuwan menjadi sangat strategis. Mereka harus dapat menjadi tonggak kilometer, sudah sejauh mana perjalanan dan penyimpangan yang telah dilakukan, sekaligus menjadi signboard untuk menentukan arah ke mana masyarakat Indonesia berikutnya melangkah. Para budayawan, agamawan dan ilmuwan harus dapat mensugesti, mengetuk hati nurani dan meyakinkan masyarakatnya dengan bahasa yang logis, sederhana dan mudah dipahami bahwa; kita bukan masyarakat primitif yang liar tanpa rujukan tetapi masyarakat modern yang penuh dipagari oleh tata nilai.
Semoga Allah swt memberi kekuatan kepada mereka mengucapkannya.
Tulisan ini kirimkan oleh salah seorang teman “Wisran Hadi” pada yahoo group yang yang ditulis dalam Orasi Kebudayaan
Langganan:
Postingan (Atom)