Kamis, 30 Juni 2011

Selayang Pandang Sejarah Suku-suku di Tanah Papua Sebuah Gambaran Kajian Sejarah

“Orang Papua” yang sekarang kita kenal sebagai sebutan untuk suku bangsa-suku bangsa yang berada di pulau paling timur dari kawasan Nusantara ini (pulau Irian) telah mengalami beberapa kali penamaan berdasarkan perkembangan sejarah. Pulau Irian yang berbentuk seekor burung raksasa, dimana 47% yang merupakan kepala, tengkuk, punggung, leher, dada dan perut dinosaurus adalah wilayah Irian Jaya, dan 53% sisanya yang merupakan ekor adalah wilayah Papua New Guinea (PNG).
Bagian kepala pulau Irian disebut “Doreh” (lima gigi) oleh para pelaut Indonesia, karena semenanjung yang meruncing dengan teluk-teluk yang sempit (teluk Wandamen, teluk Umar, teluk Beraur, teluk Sebakor, dan teluk Arguni). Dalam peta-peta Belanda, daerah ini disebut “ Vogelkop Schiereiland”. Sedangkan bagian belakang kepala dan tengkuknya dibentuk oleh teluk Cenderawasih ( dalam peta Belanda disebut Geelvink Baai) yang terdapat pulau Yapen, Biak Numford, Supriori, dan pulau kecil lainnya. Dibagian punggung ada tanjung dengan garis pantai yang membujur kearah timur dengan deretan pegunungan yang sejajar garis pantai yang merupakan tulang punggungnya. Bagian leher, dada dibentuk oleh suatu garis pantai yang membujur dari daerah Kepala Burung kearah timur. Dibagian selatan terletak pulau Yos Sudarso (Kimaam) yang terpisah dari pulau besar Irian Jaya yang menyerupai lengan dinosaurus.
Orang Belanda menyebut pulau Irian dahulu yaitu Niew-Guinea oleh seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes (1545) yang menyebut “Neuva Guinea” (Guinea Baru). Penduduk Irian (Papua) yang berkulit hitam mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua Afrika (Naber, 1915: 527-533). Sebutan lain juga adalah “Papua” yang mula-mula dipakai oleh pelaut Portugis Antonio d’ Arbreu yang mengunjungi pantai Papua pada tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta pada waktu berada di laut Maluku pada tahun 1521. Kata “Papua” berasal dari kata Melalyu “Pua-pua” yang berarti “keriting” (Stirling, 1943: 4).
Dalam konferensi Malino 1946 nama “Irian” diusulkan oleh F. Kaisepo. Kata itu berasal dari bahasa Biak yang artinya “Sinar matahari yang menghalau kabut di laut”, sehingga ada “harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian. Pengertian lain dari kata ini juga pada orang Biak, bahwa Irian itu berasal dari dua kata yaitu “Iri” dan “an”. Iri berarti “panas” dan an berarti “tanah”. Jadi artinya tanah yang panas. Masyarakat Marind-anim di pantai selatan mengatakan kata Irian berarti “tanah air” Akhirnya presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Ciri dan Identitas Orang Papua

Orang Papua tidak pernah diteliti oleh para ahli mengenai cri-ciri ras. Hanya beberapa orang dokter dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan pengukuran tinggi badan dan indeks ukuran tengkorak pada beberapa individu dibeberapa tempat yang terpencar. Bahan-bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang ciri-ciri fisik masyarakat di Papua. Menurut H.J.T. Bijlmer (1923). Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai makin pendek tubuhnya, demikian pula bentuk tengkorak penduduk pantai umumnya lonjong dan makin kearah pedalaman bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka pada beberapa penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak jarang pula ada orang pantai yang panjang bentuk mukanya, dan didaerah pedalaman keadaannyapun sama (Koentjaraningrat, 1993). Seorang ahli ragawi Belanda J.P. Kleiweg de Zwaam mengatakan bahwa suatu “ras papua” atau “ras Irian” itu tidak ada. memang diantara penduduk papua sendiri ada perbedaan ciri-ciri ras khusus. Kebinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-ciri ras fenotip mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun dalam hal ini tidak ada keseragaman. Warna rambut orang papua hampir semuanya hitam tetapi tidak semuanya keriting. Penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang berombak dan bahkan ada pula yang lurus, sedang ada pula yang lurus dan kejur (Neuhauss, 1911).

referensi :

Rabu, 29 Juni 2011

DAMPAK SAMPAH TERHADAP MASYARAKAT INJROS KOTA JAYAPURA

Keindahan Kampung Injros dari Puncak Skayland Kota Jayapura
Kota Jayapura merupakan kota yang berpenduduk heterogen yang dimana juga masyarakat asli setempat masih bertempat tinggal. Antara lain kampung Injjros berada di daerah teluk yang dikatakan sebagai teluk yotefa dan diapit oleh dua distrik yaitu distrik Jayapura Selatan dan distrik Abepura yang berpenduduk cukup padat. Dengan bermata pencaharian nelayan masyarakat Injjros berusaha untuk mempertahankan mata pencaharian mereka ini selain berkebun dan berburu. Karena menurut para ahli lebih dari 50% dari ikan diseluruh dunia memang hidup dalam berbagai kawanan sampai beribu-ribu jumlahnya, pada jarak diantara 30 sampai 10 Km. dari pantai (Koentjaraningrat 1992 : 33). Pada musim-musim tertentu kawanan ikan malahan lebih mendekati pantai lagi dan masuk kedalam teluk untuk mencari air tenang untuk bertelur. Ini yang menyebabkan masyarakat Injros menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian utama mereka sehari-hari.
kampung Injjros mempunyai ketertarikan tersendiri jika di pandang dari ketinggian Skyland jayapura. tetapi dengan adanya pembuangan sampah yang kurang teratur dari masyrakat yang bertempat tingal di kota Jayapura atau terlebih khusus di distrik Abepura ini dapat berpengaruh pada system mata pencaharian masyarakat Injros pada umumnya. Karena letak kampung Injjros dan tempat mereka mencari tidak jauh dari kota Jayapura atau distrik Abepura. Ini jelas nampak jika kita berjalan-jalan ke salah satu tempat yaitu dermaga teluk yotefa diamana tempat ini merupakan tempat berlabunya motor jonson yang digunakan masyarakat asli Injjros. Di sekitar tempat ini kita dapat melihat dengan jelas sampah-sampah yang telah berserakan dipinggir-pinggir teluk ini dan kita juga dapat mencium bau yang tidak sedap jika air surut. 
Hal ini telah diresahkan para masyarakat asli Injros kepada pemerintah namun tidak ada tanggapan yang serius terhadap hal ini. Hingga sekarang para warga khususnya para warga yang berkerja sebagai nelayan mereka merasakan imbasnya sampah kepada mereka, karena dahulunya tempat yang mereka gunakan sebagai tempat mereka mencari kini telah penuh dengan sampah dan susah untuk mencari ikan.

Selasa, 28 Juni 2011

Injjros Kampung Tua di Kota Jayapura - Papua Butuh Sentuhan

Pengantar

Pembangunan di Provinsi Papua terus dilakukan, termasuk di Kota Jayapura. Jutaan bahkan miliaran rupiah dana dikucurkan untuk mengejar ketertinggalan yang dialami rakyat Papua. Persoalannya, sudahkan itu dirasakan oleh seluruh rakyat Papua, termasuk mereka yang tinggal di Kampung Injjros.
Kampung ini sesungguhnya merupakan etalase Kota Jayapura. Dari puncak Gunung Skyline, kampung ini terlihat indah, namun sesungguhnya ada cerita duka di balik keindahan tersebut. Kampung itu jauh dari sentuhan Pemerintah Provinsi Papua. Padahal, kampung ini berada di pusat ibu kota provinsi dan berada di bibir Lautan Pasifik yang sesungguhnya menjadi wajah bagi Kota Jayapura. Untuk mengetahui lebih jauh kondisi kampung ini dan budaya mereka, koresponden SP, Gabriel Maniagasi menuliskannya dalam sorotan kali ini. 
SP/Gabriel Maniagasi
Warga Teluk Youtefa dari Kampung Enggros sedang mengambil air bersih dengan sebuah sampan. Gambar diambil baru-baru ini.
ahulu, sebelum ada pemisahan kampung-kampung di Teluk Youtefa, di wilayah Kota Jayapura semua warga di kawasan itu hidup bersama di sekitar Pantai Vim. Pantai Vim, oleh penduduk setempat menyebutnya sebagai Kampung Tua.
Dari Kampung Tua inilah kemudian seiring dengan perkembangan dan perubahan sosial mereka menyebar ke arah barat, yakni ke Assei dan Ifale di Sentani, lalu ke Tablasupa di Tanah Merah dan daerah-daerah yang sekarang menjadi bagian dari wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Jayapura. Sedangakan lainnya menyebar sampai ke beberapa tempat di sekitar teluk di wilayah Kota Jayapura, yakni Kampung Tobatji, Kayu Batu, dan ke Pulau Kuburan di depan Kampung Tabatji di Teluk Youtefa.
Kampung Injjros, sesungguhnya merupakan etalase Kota Jayapura di bibir Samudera Pasifik. Dari puncak Gunung Meer atau sepanjang Jalan Raya Abepura di Puncak Skyland kampung ini terlihat begitu indah, bahkan sering menjadi objek pengambilan gambar atau foto bagi pengunjung baru di Kota Jayapura. Kampung tersebut sesungguhnya memiliki sejarah panjang bagi pertumbuhan dan peradaban di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Meskipun rumah-rumah penduduknya didirikan di atas air, namun itu menjadi ciri khas masyarakat Injjros.
Dari puncak Gunung Skyline, kampung ini terlihat indah, namun sesungguhnya ada cerita "duka" di balik keindahan tersebut. Kampung itu jauh dari sentuhan Pemerintah Provinsi Papua. Padahal kampung ini berada di pusat ibu kota provinsi dan berada di bibir Lautan Pasifik yang sesungguhnya menjadi wajah bagi Kota Jayapura.
Cerita lain, sekarang kampung ini, nyaris menjadi fondasi jembatan layang yang akan dibangun untuk menghubungkan jalur jalan trans Jayapura Skow melewati Holtekamp. Lalu kampung ini menjadi daerah penampung limbah dari wilayah Kotaraja dan Abepura.
Tak bisa disangkal, pembangunan Pasar Sentral Youtefa di Kotaraja menjadi ancaman serius bagi biota laut di sekitar kawasan teluk, di mana sampah-sampah plastik banyak berserakan di pantai dan laut di Teluk Youtefa sehingga harus dicarikan solusi sebelum nantinya menjadi bencana.
Kampung kecil ini dikepalai seorang tokoh yang gagah berani, cerdas, dan berwibawa di mata rakyatnya. Tokoh adat ini oleh warganya disebut ondoafi atau dalam bahasa Injjros disebut Nugsori. Saat ini di kampung Injjros bertahta dua kekuasaan besar, yakni kekuasaan Pemerintahan Kota Jayapura melalui perpanjangan tangannya yakni kepala pemerintahan kampung dan kekuasaan adat oleh Nugsori

Kepemimpinan
Kepala pemerintahan kampung dijabat Moses Hanasbey, sedangkan kekuasaan adat dikendalikan Nugsori Marthen Drunyi. Meskipun ada dualisme kepemimpinan di kampung, namun tidak menimbulkan pertikaian antarpemimpin karena jalinan koordinasi dan kerja sama antarkeduanya. "Kita tetap memosisikan diri sebagai mitra pemerintah, kita bukan musuh atau lawan dari pemerintah," tegas Drunyi.
Sejarah terbentuknya kampung ini, seperti diceritakan Drunyi, kira-kira pada abad XVII, di bawah pimpinan Nugsori Yaise bersama Ichsori Sanyi, Hancdoic Hanasbey, Hababuk dan Haay mereka menuju Injjros dan memberi nama bagi kampung tersebut.
Kampung ini disebut Injjros, yang dalam bahasa Melayu disebutkan Inj berarti tempat atau kampung. Sedangkan Jross berarti tempat kedua. Jadi, sebutan Injjros berarti kampung/tempat yang kedua setelah penduduk kampung ini berpindah dari tempatnya yang lama di kaki Gunung Meer di Vim.
Seperti di kampung lain di wilayah Tanah Papua, Injjros pun memiliki lembaga adat dan aturan yang mengatur kehidupan warganya. Misalnya saja untuk penyebutan bagi pemimpin adat. Sebutan ondoafi, itu sebutan untuk suku Tanah Merah, kemudian sebutan ondofolo untuk Suku Sentani, onto untuk Kampung Nafri dan di Injjros disebut Nugsori.
Secara struktur, masyarakat di Kampung Injjros dipimpin para pemimpin adat dengan jabatan yang baku dan tidak bisa digantikan sembarang orang. Artinya, hanya mereka yang memiliki garis keturunan Nugsori saja yang berhak menduduki jabatan adat tersebut.
Pemimpin yang tertinggi dipegang Nugsori atau sering disebut pemimpin/kepala kampung. Kemudian Chasori atau sekretaris adat, lalu Hancdoi atau kepala suku, dan Rowes atau sering disebut pesuruh (pembantu Nugsori).
Dari Jabatan adat yang disebutkan tadi, jabatan tertinggi ada pada Nugsori, kemudian Hanchdoich dan Rowes. Sebagai pemimpin tertinggi Nurch Syorich membawahi sekretaris adat, kepala suku, marga, dan Rowes, Hembisori kepala/panglima perang suku Merauje, kemudian Ichsori kepala/raja ikan Suku Sanyi, dan kepala/raja hutan Suku Itaar
Selain mengepalai atau menjadi pemimpin besar atas warganya di kampung, tentu saja Nugsori memiliki tugas dan tanggung jawab yang cukup berat untuk mengatur warganya agar hidup aman dan damai di kampung maupun dengan warga lain dari luar kampung mereka. Berikut adalah sebagian tugas dan tanggung jawab yang dimiliki seorang Nugsori yakni melindungi warganya dari berbagai ancaman, menyelesaikan perkara di kampung, melakukan pembangunan di kampung, melangsungkan pernikahan, serta penyelesaian sengketa.
Sedangkan tugas dan tanggung jawab kepala suku, hampir sama dengan tugas dan tanggung jawab seorang Nugsori yakni melindungi sukunya, membangun, Perkawinan dan Pembayaran Kepala. Hanya saja jangkauan wilayahnya tidak seluas Nugsori.
Untuk menjadi seorang Nugsori tidak semudah mencalonkan diri menjadi kepala kampung atau pemimpin sebuah organisasi. Jabatan seorang pemimpin adat biasanya diturunkan kepada mereka yang memang telah diserahi hak dan tanggung jawab untuk itu. Untuk seorang Nugsori tidak mutlak harus anak yang sulung, bisa anak kedua atau anak ketiga tapi masih dari keturunan Nugsori yang menjabat, alias masih hidup.
Terkait sistem pengambilan keputusan, nilai-nilai demokratis pun menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Karena ada hal-hal pokok yang biasanya membutuhkan pikiran dan pendapat dari kepala suku, sekretaris adat dan kepala pemerintahan masyarakat kampung Injjros, tapi ada keputusan yang langsung diambil Nugsori, tanpa harus melalui mekanisme pemberian pertimbangan dan saran dari kepala suku, dan staf adatnya.
Untuk urusan keamanan dalam struktur adat masyarakat Injjros, sesungguhnya menjadi tugas panglima perang. Segala kebesaran Nugsori dipagari panglima perang dengan segala keahliannya yakni biasanya fuifui melalui api, air, maupun angin yang didatangkan pihak luar maupun dari dalam masyarakat kampung sendiri. Panglima perang dalam keseharian disebut Hembisori.
Hembisori dengan segala yang dimilikinya menjadi benteng dan basis pertahanan kampung karena urusan keamanan adalah menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Karena keadaan sekarang tidak lagi terjadi perang seperti waktu yang lampau maka pertikaian dan percekcokan yang membutuhkan kekuatan otot menjadi urusan Hembisori.
Selain, Hembisori ada pula Rumroi atau Rowes yang sering disebut dengan istilah pesuruh. Sesungguhnya, Rowes adalah orang yang dekat dengan pusat kekuasaan yakni Nugsori.
Pesuruh adalah orang rumah dalam keseharian dipanggil Rumroi/Rowes, maksudnya ia walaupun dekat dengan pusat kekuasaan namun dalam perundingan ataupun penyelesaian persoalan di para-para adat, Rowes tidak diperkenankan mengambil keputusan.
Ia sangat tahu dengan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Di atas para-para adat (Tetch), Rowes tidak dibenarkan berbicara. Dia hanya menjadi orang yang siap untuk melakukan pekerjaannya.
Menurut Nurch Syorich Marthen Drunye, Rowes telah mengetahui tugasnya. Sehingga untuk sebuah acara yang akan digelar di kampung atau ada peristiwa kedukaan maka Rowes telah mengetahui dengan benar apa yang telah dikerjakannya turun temurun.
Umumnya, tugas Rowes ada terbagi pada setiap mata rumah/keret/marga karena ada mata rumah satu, dua dan tiga. Seperti di rumah besar Drunye, maka suku Merauje yang menjadi Rowes, sedangkan di Rumah Sanyi, suku Semra yang mengabdi, dan seterusnya dan yang dikerjakan pesuruh terbagi dua, yaitu untuk urusan ke dalam dan ada yang untuk urusan ke luar.
Untuk urusan ke luar, seperti membawa informasi kepada kaum keluarga tentang berita duka, buka meja/tikar dan rapat-rapat besar yang terjadi para-para adat (rumah besar) dan di suku-suku. Juga kalau ada persoalan dengan kampung lain seperti masalah tanah dan juga untuk urusan perkawinan.
Untuk menjadi Rowes yang melakukan urusan pernikahan biasanya seorang Rowes itu memiliki kemampuan di antaranya pandai berdiplomasi atau pandai berbicara, berpenampilan baik, memiliki pengaruh, ramah, dan sopan serta pandai mengambil hati orang. Sedangkan untuk urusan ke dalam, Rowes bertugas menyiapkan segala sesuatu tentang keberlangsungan acara yang dilakukan di rumah besar maupun keret.
Untuk dilantik menjadi Nugsori, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah pelaksanaan pelantikan harus disaksikan langsung masyarakat adat, kemudian warga harus berkumpul di para-para adat (tempat pertemuan khusus), ada pemukulan tifa besar sebanyak 3 kali dan sebut Meer. Meer adalah gunung tinggi di depan kampung yang menurut kepercayaan masyarakat Injjros adalah pusat dari semua peradaban Yang Tuhan Allah taruh bagi mereka.