Rabu, 21 September 2011

Refleksi sejarah: Pertanian dan Antropologi

Di masa lampau, sekitar dasawarsa 70-an dan 80-an, orientasi pengembangan program-program Uncen mengacu kepada pengembangan tanaman-tanaman pertanian asli (ubi jalar, talas dsb.) yang inherent dengan pembangunan pedesaan (suku-suku asli Papua di kampung-kampung pedalaman). Hal tersebut tersirat dan tersurat jelas dalam Pola Ilmiah Pokok (PIP) Universitas Cenderawasih pada waktu itu yaitu Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian. Sejak awal pembangunan Tanah Papua, telah diketahui pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang perlu dijabarkan bersama-sama dengan Kajian-kajian Pertanian  dalam rangka meningkatkan taraf hidup Masyarakat Asli di Papua.  
Relevansi dan implikasi Antropologi dan Pertanian dalam Pembangunan Tanah Papua dijelaskan dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987), pada Bab Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000  (1987) oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31) yang saya kutip:
 " ............  Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut mewarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya. 
 Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya berjauhan dan kondisi sosio-budaya penduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam ….
 Berkaitan dengan prevalensi pertanian bahan pangan asli Papua (ubijalar, keladi dan sagu) pada masa itu Universitas Cenderawasih menyelenggarakan berbagai kegiatan di mana Institut Pertanian Bogor turut berperan.  Dapat dikisahkan antara lain hal-hal berikut. 
Salah seorang peneliti dari IPB, Sdr Dr Ir Fred Rumawas, terlibat dalam penelitian pemuliaan tanaman petatas (ubi jalar) di daratan tinggi Baliem, dalam upaya memperoleh strain  ubi jalar yang lebih  tinggi kandungan proteinnya (> 3 persen).  Hipotesis bahwa petatas di dataran tinggi (800 - 1600 m dpl.) merupakan makanan pokok orang asli Papua sedangkan tidak ada jenis makanan sumber protein lainnya, kecuali ternak babi yang hanya dikonsumsi pada peristiwa-peristiwa khusus. Hal ini berarti penduduk pedalaman dataran tinggi Baliem sebagian besar mengandalkan protein dalam gizinya dari kandungan protein dalam ubi jalar. 
Selanjutnya, staf Uncen Manokwari (sekarang UNIPA) Sdr Dr Ir Sunarto (S2 dari Agronomi IPB), lebih mengkhususkan penelitiannya kepada jenis-jenis kastela (keladi), makanan pokok orang asli Papua yang hidup di lereng-lereng pada ketinggian 300 – 800 m dpl.
Di dataran rendah, daerah pantai dan rawa (< 300 m dpl.). sagu dianggap sangat penting karena merupakan makanan pokok bagi penduduk asli Papua.  Banyak di antara peneliti Uncen Jayapura maupun Uncen Manokwari terlibat dalam kajian-kajian masalah sagu, baik dari aspek sosio-antropologi, maupun teknis pertaniannya.  Proyek Sagu Nasional di era Prof Dr B J Habibie menjabat Menristek, berdasarkan survei-survei yang dilakukan pada masa itu menempatkan Papua sebagai daerah yang memiliki potensi sagu paling besar di Indonesia, diikuti propinsi Riau.  Proyek sagu ini diketuai oleh Prof Dr Achmad Satari (mantan Rektor IPB).  
Arsip Agrarisch Proefstation Manokwari (sekarang menjadi bagian dari Universitas Papua) menunjukkan bahwa peneliti pertanian Belanda pada masa penjajahan telah mencanangkan ”polder plan rice estate” di daerah Merauke pada awal dasawarsa 1960-an. Di dataran rendah Merauke juga di masa Gubernur (Almarhum) Drs Busiri (tahun 1980-an) pernah direncanakan pembangunan perkebunan tebu, karena keadaan iklim musimnya (monsoon) dan topografi yang cocok untuk itu.
Penelitian Antropologi dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan dilakukan di banyak daerah pedalaman Tanah Papua oleh tenaga UNCEN-SIL (kerjasama Universitas Cenderawasih dengan The Summer Institute of Linguistics, 1976 – 1990).    
Itulah sekilas lintasan masa lampau -- kiprah pembangunan yang dilakoni Universitas Cenderawasih yang saya anggap perlu diungkap – bukan untuk rujukan atau acuan kita  melangkah ke depan tetapi  sebagai bagian dari catatan sejarah pembangunan Tanah Papua. Pembangunan adalah perubahan dan kita tidak perlu merujuk masa lampau, tapi kita tetap bertumpu pada apa yang  telah dimulai.
Kini keberhasilan pembangunan di Tanah Papua sudah mulai tampak walaupun mungkin masih sangat jauh dari harapan. Hal yang menonjol terutama adalah peran putra daerah dalam kepemimpinan yang semakin prevalen, suasana perkotaan semakin ramai dan tampak lebih baik kondisi ekonominya, namun masyarakat rural di kampung-kampung pedalaman masih belum banyak terjamah pembangunan.  Inilah kenyataan yang menjadi perhatian utama kita – bagaimana memberdayakan masyarakat rural yang miskin, menjadikan mereka warga yang industrious dan mandiri.

Selasa, 20 September 2011

Cerita Banjir (Air Bah) Di Wandamen Catatan : Ini Adalah Sinopsis Dari Cerita Rakyat Yang Ditemukan Ongkodharma Pada Tahun 1983.


Pada suatu ketika hiduplah seorang wanita muda bernama Indorani. Hidupnya sederhana dan sebelum bersuami, ia hamil. Pada suatu hari yang indah ketika burung0burung sedang berkicau, indorani melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan menamakannnya Manawasi.
Pada hari yang ketiga, langit sangat gelap dan guntur menggelegar. Awan-awan berkumpul dan dimana-mana sangat gelap. Gelegar guntur terdengar dari seluruh bumi gelap dan hujan deras turun. Sungai-sungai mulai meluap dan orang mulai ditenggelamkan oleh air. Orang berbondong-bondong naik semakin tinggi. Banyak korban karena air yang mengganaskan itu.
Di daerah yang paling tinggi ada pohon raksasa yang berdiri kokoh. Pohon ini lebih tinggi dari pada air bah. Di pohon inilah Indorani dan dua orang temannya tergantung dengan selamat. Satu temannya adalah burung Cenderawasih dan satunya lagi adalah roh hidup yang berbentuk seekor  burung besar yang tidak ada namanya. Burung Cenderawasih dengan setia menolong Indorani dan mengambilkannya makanan dan air minum sedangkan burung yang besar itu melindunginya dari hujan dan angin ribut.
Setelah 40 hari dan 40 malam, matahari mulai menyinari daerah sekeliling yang menakutkan itu. Matahari bersinar terang dan angin mulai meniup ke seluruh penjuru dunia. Air bah itu menurun dan sedikit dan demi sedikit tanah di bawah pohon raksasa itu menjadi kering. Daerah ini disebut Sobiar. Indorani hamil anak keduanya lagi. Ketika waktunya hendak melahirkan, dia turun dari pohon. Di bawah pohon yang aman itu, dia melahirkan anaknya yang diberi nama Surui.
Dekat tempat itu ada gunung bernama Orbuan atau gunung karang, pada waktu itu  di atas gunung ini medarat sebuah kapal besar bernama Waipori yang mendarat ketika ketika air bah turun. Di kapal itu bekerja Tubopi dan isterinya Wisopi. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki yang sudah menikah dan berkeluarga.
Ketika air bah menanti, mereka semua keluar dengan banyak pasangan binatang yang juga berada di kapal itu. Kapal itu juga membawa banyak makanan untuk setiap binatang dan manusia. Ketika mereka meninggalkan kapal itu, mereka sangat ribut sehingga terdengar oleh Indorani. Mereka semuanya bertemu di kapal yang bernama Waipori. Tubopi bersukacita melihat Indorani dan memintanya tinggal dengan mereka. Indorani menerima itu tawaran itu dan menjadi bagian dari keluarganya. Mereka hidup damai dan sentosa selama-lamanya.

Sumber : Kelompok Peneliti Etnografi 1993; Etnografi Irian Jaya “panduan social budaya”.

Minggu, 03 Juli 2011

Perang Bintang 2011 : AJANG PEMBUKTIAN BOAZ

Performa Persipura Jayapura luar biasa pada Djarum Indonesia Super League (ISL) 2010/2011. Status juara disabet klub berjuluk Mutiara Hitam itu tiga pekan sebelum ISL ditutup.
Persipura juga unggul delapan angka dari dua rival terdekatnya saat jadi yang terbaik.Anak asuh Jacksen F Tiago itu pun ingin melengkapi kejayaannya musim ini dengan memburu kemenangan pada Perang Bintang 2011.
Ajang ini merupakan puncak selebrasi ISL,yang mempertemukan Mutiara Hitam dengan tim All Stars yang diisi sejumlah bintang ISL musim ini hasil polling SMS. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Mandala,Jayapura, sore ini, juga jadi pembuktian bagi Boaz Solossa. Kapten Persipura yang tampil cukup menawan musim ini sukses merebut gelar pemain paling produktif dengan 22 gol.
Setelah top skor di tangannya,pemain yang pernah mengalami cedera patah tulang fibula pada 2007 itu ingin melengkapi suksesnya dan Persipura. Pemain terbaik ISL adalah target Boaz selanjutnya. Penampilan menawan pada Perang Bintang bisa menjadi menambah nilai untuk Boaz dalam perebutan gelar ini.
Saingan pemain yang akrab disapa Bochi ini adalah striker Persija Jakarta Bambang ’Bepe’ Pamungkas dan Aldo Baretto,penyerang impor Persiba Balikpapan. Jacksen menyebut peluang Boaz seharusnya lebih besar daripada dua pesaingnya.Menurut dia,saingan pemain asal Sorong itu disebut sang arsitek adalah Greg Nwokolo.Tapi, gelandang serang Persija itu tak masuk nominasi.

”Greg sebenarnya layak jadi nominasi pemain terbaik.Perannya sangat vital untuk Persija musim ini.Tapi, dia tak masuk nominasi.Jika Greg masuk daftar calon pemain terbaik, dia saingan berat Boaz,”kata Jacksen. Tapi, sedikit bocoran siapa yang merebut pemain terbaik datang dari Manajer TI dan Komunikasi PT Liga Indonesia (Liga) Azwan Kharim.
Menurut Azwan, penjurian pemain terbaik masih akan melakukan rapat terakhir di Jayapura jelang Perang Bintang. Hanya, tim juri yang dipimpin Yopie Lepel diakui Azwan sedikit condong ke pemain lokal. ”Boaz dan Bepe bersaing. Tapi,Boaz unggul dengan tugasnya sebagai kapten Persipura dijalankannya dengan bagus musim ini.
Tapi,untuk Bepe, musim ini dia lebih sering jadi pemain cadangan,”tutur Azwan. Untuk pertandingan Persipura kontra tim All Stars,Jacksen mengatakan pasukannya siap tempur.Tapi, tiga nama absen pada laga yang disiarkan langsung antvmulai pukul 15.30 WIB,yaitu Hamka Hamzah, Emanuel Wanggai, dan Ricardo Salampessy.
”Skema kami mungkin sama,tapi cara main yang akan berbeda.Saya ingin pemain melakukan improvisasi sesuai kemampuannya untuk menyulitkan lawan,”kata Jacksen. Dari tim All Stars,Pelatih Nil Maizar mengatakan,skema 4-3-3 atau 3-5-2 kemungkinan akan dipakai.
”Bepe sudah bergabung sehingga membuat pilihan semakin banyak.Tapi, di tim ini setiap pemain memiliki keistimewaan sebagai bintang.Mungkin karakter mereka sudah diketahui pemain Persipura, itu yang kami waspadai,”tandas arsitek Semen Padang ini. wahyu argia/ decky jasri.

http://12paz.blogspot.com/

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA JURUSAN ANTROPOLOGI UNCEN

Buku Kenangan Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih 62-87  (Jayapura, 1987). Universitas Cenderawasih (disingkat UNCEN) didirikan pada tanggal 10 November 1962 di Kotabaru (Jayapura sekarang) didasarkan atas Keputusan bersama WAMPA/Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962 tanggal 10 November 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 389 tanggal 31 Desember 1962. Pada waktu didirikan Universitas Cenderawasi terdiri atas dua Fakultas,  pertama Fakultas Hukum Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (disingkat FHKK) dengan jurusan: Hukum, Ketatanegaraan dan Ketataniagaan. Sedangkan Fakultas yang kedua adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (disingkat FKIP) yang memiliki Jurusan Bahasa,dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris dsb. Pada tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Keputusan Menteri PTIP nomor 82 tanggal 20 Juli 1963,  di lingkungan Universitas Cenderawasih telah dibuka sebuah Lembaga yang setingkat dengan Fakultas, yaitu Lembaga Antropologi (disingkat LA) yang mempunyai bagian: Penelitian, Perpustakaan, Permuseuman, Pendidikan dan Tatausaha. 
Pada tanggal 5 Oktober 1964 di lingkungan Universitas Cenderawasih dibuka Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan  (disingkat FPPK) berkedudukan di Manokwari ddengan pertimbangan bahwa Manokwari mempunyai daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian di samping telah ada Lembaga Penelitian dan Pendidikan Pertanian Manokwari (LP3M) yang didirikan  Pemerintah Belanda pada tahun 1961 (Agrarisch Proefstation Manokwari). LP3M ini kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 60/GIJ/1978, sejak tahun 1978 diintegrasikan ke dalam Universitas Cenderawasih.  
Dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987)" tersebut, karena pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang memang sejak dahulu sudah diidentifikasi, dan sampai sekarang kita masih perlu menjabarkannya dalam Kajian-kajian Pengembangan Masyarakat Asli di Papua. 
"Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut diwarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya.  Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis terdapat di daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya seringkali berjauhan dan kondisi sosio-budaya prnduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam agar unsur-unsur budaya ini kelak dapat lebih dimanfaatkan untuk pembangunan negara. "   dari: Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000, oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31. --  1987 op. cit.)
Antropologi sebagai salah satu program studi di Universitas Cenderawasih dimulai pada tahun 1978, dibuka berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor : P-03/A1/1978 pada tanggal 9 Januari 1978. Program Studi yang akan mendidik dan melatih calon-calon peneliti dalam bidang Antropologi untuk mengisi kekurangan tenaga peneliti di daerah Irian jaya. Dengan beberapa pertimbangan kemudian program studi tersebut berubah menjadi program studi sampai tingkat Sarjana Muda sesuai dengan Universitas yang pada waktu itu masih Tergolong Universitas Muda.
Mula-mula program studi Antropologi digabung dengan program studi Linguistik di dalam satu jurusan yang diberi nama Jurusan Linguistik dan Jurusan Antropologi. Penggabungan dua cabang ilmu itu dalam satu jurusan dimaksudkan sebagai suatu keputusan yang akan dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan dilatar belakangi oleh banyaknya suku bangsa dan banyaknya bahasa di daerah irian Jaya ini. Disamping itu penggabungan dua bidang ilmu dan pengelolaannya diharapkan bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari program kerja sama Universitas Cenderawasih – Summer Institute of Linguistics (SIL).
Administrasi maupun kegiatan akademik jurusan Antropologi dan Linguistik sampai tahun 1981 ditangani oleh Lembaga Antropologi, tetapi sejak tahun ajaran 1981/1984 dialihkan ke Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES) yang kemudian berdasarkan PP.No.05 Tahun 1980 berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). 
Adanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud untuk penyelenggaraan pendidikan Antropologi, maka pada tahun ajaran 1983/1984 kurikulum pada jurusan Linguistik dan Antropologi harus dirubah. Semua mata kuliah Linguistik dihapuskan dari kurikulum. Karena tidak sesuai dengan kurikulum inti yang ditetapkan oleh Depdikbud. Perubahan kurikulum itu membawa konsekuensi terhadap nama jurusan, sehingga nama dirubah menjadi Jurusan Antropologi.

Jumat, 01 Juli 2011

KETIKA MASYARAKAT KEHILANGAN RUJUKAN PERANAN BUDAYAWAN SANGAT MENENTUKAN

 Oleh:
Wisran Hadi

Marilah kita mulai pembicaraan tentang kebudayaan ini dari sesuatu yang tidak berbudaya. Tentang hikayat seekor ayam. Ayam sebagai jenis burung yang halal dimakan, akan dapat jadi haram apabila diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan ketentuan agama. Ayam yang secara material adalah halal namun jika dipotong tanpa mengucapkan bismillah, ayam yang telah dipotong itu langsung jadi haram untuk dimakan. Di sini berarti, bahwa perlakuan atau proses adalah sesuatu yang sangat menentukan. Perlakuan yang salah akan menyebabkan suatu material berobah status hukumnya dari halal menjadi haram.
Begitulah perlakuan masyarakat kita sekarang terhadap kebudayaan. Mereka lebih memandang kepada ayamnya, materialnya, sosoknya, wujudnya, bukan kepada perlakuan atau proses penyembelihannya. Artinya, masyarakat kita lebih percaya kepada material yang secara umumnya halal, bukan kepada perlakuan yang menyebabkan material menjadi haram. Semua itu dapat dilihat pada perlakuan atau proses pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, budaya dan seni.
Pola hidup masyarakat yang serba materialistik, hedonistik dan konsumtif merupakan presentasi perpanjangan dari hikayat seekor ayam tadi. Masyarakat semakin hari semakin mengagungkan kebendaan. Mereka memberhalakan sesuatu hasil, tanpa mau mengikuti proses yang benar. Mereka lebih percaya pada apa yang tampak atau apa yang wujud. Segala sesuatu mereka ukur dengan berdasarkan ujudnya. Profesi seseorang tidak dihargai, tetapi sukses atau keberhasilan (terlepas dari bagaimana mereka memperoleh kesuksesan itu) sangat didambakan. Perlakuan atau proses tidak penting, karena pencapaian hasil lebih diutamakan.
Perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat primitif adalah bagaimana mereka menyikapi lingkungannya, bagaimana mereka memperlakukan sesuatu, menyikapi persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya. Dalam kehidupan masyarakat primitif, semuanya harus diwujudkan. Segala sesuatu yang dianggap gaib, seperti dewa-dewa, roh jahat atau roh buruk diwujudkan dalam bentuk-bentuk patung atau lukisan. Mereka memberhalakan bentuk-bentuk. Mereka miskin imajinasi atau dapat dikatakan, mereka tidak mampu mengembangkan imajinasinya. Seseorang dianggap sempurna adalah mereka yang berhasil mengumpulkan segala macam benda, segala macam jenis binatang, ternak, budak dan batu-batuan. Seorang kepala suku dalam masyarakat primitif harus dilihat sebagai makhluk yang keramat dan tidak dapat disamakan dengan manusia biasa. Orang-orang keramat itu terbebas dari segala keburukan, kutukan atau dosa-dosa.
Hal seperti itu pulalah yang kini terjadi dalam masyarakat kita. Masyarakat kita yang sudah dianggap modern ini ternyata hanyalah perpanjangan dari cara berpikir masyarakat primitif. Indikasi cara berpikir primitif tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek. Kesuksesan seorang anak didik ditentukan oleh nilai yang didapat dalam waktu sesaat, bukan oleh sebuah proses belajar yang panjang. Seorang pegawai negeri dinilai bukan dari segi kejujuran, disiplin dan etos kerjanya, tetapi dari sejauh mana mereka dapat merangkul atasannya. Seorang suami dinilai hebat oleh istri dan anaknya, apabila si suami dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tanpa si istri atau anak mempertanyakan proses darimana datangnya kekayaan tersebut. Seorang ulama dinilai dari penampilannya, pangkat dan gelar akademiknya, bukan dari banyaknya jamaah yang mereka tuntun, ketaqwaan dan kebenaran yang diajarkannya. Tokoh-tokoh akademik karena punya gelar akademik yang tinggi kini telah dianggap pula sebagai ulama atau tokoh agama. Mereka boleh berpikir bebas tanpa harus memperhitungkan kesesatan yang dibawanya. Seorang Kiyai ditentukan oleh keturunannya, bukan oleh ilmu agama yang diembannya. Kiyai adalah manusia tanpa dosa, karenanya mereka boleh melakukan apa saja. Seniman lebih dihargai aksi dan penampilan dirinya, bukan pada karya-karya seninya. Seorang budayawan dihargai pada pemunculan dan retorikanya, bukan pada hasil-hasil renungannya untuk mencerahkan kehidupan.
Cara pandang masyarakat primitif yang diteruskan oleh masyarakat yang mengklaim dirinya masyarakat modern itu cukup merisaukan. Terjadi perubahan yang besar terhadap orientasi budaya. Nilai-nilai budaya yang telah diajarkan secara turun temurun untuk diwarisi dan nilai-nilai agama yang telah diajarkan semenjak dini secara perlahan telah bergeser jauh. Rasa malu, rasa keadilan, rasa keindahan, rasa kebersamaan berubah secara total tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Perobahan yang terjadi begitu dahsyat, dianggap sebagai ekses, akibat samping dari kehidupan dunia modern dan globalisasi. Lalu dicarikan kambing hitamnya; mass media. Mass medialah yang dianggap sebagai biang dari masuknya nilai-nilai budaya asing dan budaya pop yang serba instan ke rumah-rumah. Kita tidak pernah menyalahkan diri kita sendiri, bahwa perubahan itu yang terjadi disebabkan oleh sikap budaya dan kesalahan dalam memperlakukan dan memandang nilai-nilai yang lama itu sebagai sesuatu ambigu, nisbi, tidak relevant dengan perkembangan dunia.
Khusus dalam masalah kesenian misalnya, – bidang ini adalah bidang yang tanpa filter dapat dimasuki oleh apa saja coraknya cara berpikir, aliran-aliran politik, keyakinan-keyakinan dan isme-isme lainnya – telah lebih dulu bergeser ke arah pola pikir masyarakat primitif itu tadi. Kesenian sekarang telah dipisahkan dari etika, nilai-nilai dan norma-norma agama. Jika seseorang menuntut agar kesenian harus takluk kepada nilai-nilai adat dan budaya serta norma-norma agama, maka para seniman menampiknya dengan mengatakan; karya seni adalah sebuah produk otonom, terbebas dari nilai-nilai budaya dan agama apapun. Mengukur karya seni harus dengan ukuran karya seni itu sendiri. Seniman tidak perlu harus beragama, harus beradat. Seniman, sebagaimana kiai-kiai tadi, merekapun menganggap diri sebagai manusia steril yang terbebas dari dosa-dosa. Akibat dari perlakuan mereka yang demikian terhadap karya seni, para seniman seakan mendapat legitimasi untuk berbuat apa saja. Mereka dapat melakukan pertunjukan apa saja coraknya, apakah itu melanggar aturan adat, nilai-nilai budaya atau hukum-hukum agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenian kita tidak semakin maju, tetapi semakin mundur, mendekati kehidupan masyarakat primitif. Namun sebaliknya, bagi dunia pariwisata misalnya, semakin budaya masyarakat kembali menjadi primitif, akan semakin menguntungkan sektor ini karena akan semakin banyak turis yang datang. Bagi para politik dan pemerintah, semakin masyarakat itu berpola pikir dan bertingkah laku sebagaimana masyarakat primitif akan semakin mudah mereka menanamkan aliran-aliran politiknya, dan pihak pemerintah semakin mudah memperkokoh kekuasaannya, karena pola masyarakat primitif bergerak pada hasil bukan pada proses. Masyarakat demikian cukup diberi atau disediakan berhala-berhala yang selalu akan mereka sembah setiap hari; kekayaan dan jabatan (melalui KKN), kehidupan yang glamour tanpa rujukan. Orang-orang diberi surprise dengan hasil-hasil yang mendadak, penunjukan-penunjukan yang tiba-tiba dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat yang menghargai proses dan profesionalisme – yang sering disebut sebagai masyarakat yang akademik – menjadi musuh. Masyarakat demikian adalah musuh besar bagi sebuah kekuasaan yang korup.
Analog hikayat seekor ayam dengan pola hidup yang sedang dilakoni sekarang adalah sesuatu sangat merisaukan. Kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dianut berbagai suku yang tersebar seluruh kepulauan di Indonesia yang selama ini “halal”, namun karena diperlakukan secara salah, telah menjadi “haram” untuk kehidupan berikutnya. Kita “haramkan” atau kita tidak setuju terhadap dampak dari nilai-nilai budaya baru sebagai dampak dari cara berpikir masyarakat primitif. Kita mengharamkan judi, korupsi, perzinaan, makanan minuman yang memabukkan, pemalsuan-pemalusan, hilangnya rasa malu dan buyarnya kebersamaan dan lain sebagainya itu, sementara yang kita “haramkan” itu terus dipasarkan ke tengah masyarakat dengan berbagai fasilitas yang diberikan lembaga-lembaga tertentu maupun pemerintah itu sendiri. Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang terjadi di Sumatera Barat dapat dijadikan batu uji, apakah masih ada rasa malu bagi mereka yang telah dituduh dan dihakimi sebagai koruptor. Jika para wakil rakyat Sumatera Barat yang terbukti korupsi itu sudah tidak punya rasa malu lagi, ini sekaligus sebagai bukti bahwa Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang diagung-agungkan selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya sekarang adalah, mampukah kita menggeser paradigma berpikir dari masyarakat primitif kepada cara berpikir masyarakat modern, yang terbuka, jujur, agamis? Masyarakat yang mempunyai daya imajinasi yang kuat dan luas, masyarakat yang menghargai proses terhadap semua perilaku dan tindakan? Sesuatu yang selama ini telah jadi “haram” ulah perlakuan kita terhadap budaya, kembali kita jadikan “halal” sehingga dapat memberikan pencerahan dalam kehidupan? Mengutuki perlakuan dan proses yang salah karena akan dapat menjadikan sesuatu menjadi “haram”. Memberikan ruang yang luas untuk setiap perlakuan dan proses yang benar.
Dalam konteks ini, peranan budayawan, agamawan, ilmuwan menjadi sangat strategis. Mereka harus dapat menjadi tonggak kilometer, sudah sejauh mana perjalanan dan penyimpangan yang telah dilakukan, sekaligus menjadi signboard untuk menentukan arah ke mana masyarakat Indonesia berikutnya melangkah. Para budayawan, agamawan dan ilmuwan harus dapat mensugesti, mengetuk hati nurani dan meyakinkan masyarakatnya dengan bahasa yang logis, sederhana dan mudah dipahami bahwa; kita bukan masyarakat primitif yang liar tanpa rujukan tetapi masyarakat modern yang penuh dipagari oleh tata nilai. 
Semoga Allah swt memberi kekuatan kepada mereka mengucapkannya.
Tulisan ini kirimkan oleh salah seorang teman “Wisran Hadi” pada yahoo group yang yang ditulis dalam Orasi Kebudayaan

Kamis, 30 Juni 2011

Selayang Pandang Sejarah Suku-suku di Tanah Papua Sebuah Gambaran Kajian Sejarah

“Orang Papua” yang sekarang kita kenal sebagai sebutan untuk suku bangsa-suku bangsa yang berada di pulau paling timur dari kawasan Nusantara ini (pulau Irian) telah mengalami beberapa kali penamaan berdasarkan perkembangan sejarah. Pulau Irian yang berbentuk seekor burung raksasa, dimana 47% yang merupakan kepala, tengkuk, punggung, leher, dada dan perut dinosaurus adalah wilayah Irian Jaya, dan 53% sisanya yang merupakan ekor adalah wilayah Papua New Guinea (PNG).
Bagian kepala pulau Irian disebut “Doreh” (lima gigi) oleh para pelaut Indonesia, karena semenanjung yang meruncing dengan teluk-teluk yang sempit (teluk Wandamen, teluk Umar, teluk Beraur, teluk Sebakor, dan teluk Arguni). Dalam peta-peta Belanda, daerah ini disebut “ Vogelkop Schiereiland”. Sedangkan bagian belakang kepala dan tengkuknya dibentuk oleh teluk Cenderawasih ( dalam peta Belanda disebut Geelvink Baai) yang terdapat pulau Yapen, Biak Numford, Supriori, dan pulau kecil lainnya. Dibagian punggung ada tanjung dengan garis pantai yang membujur kearah timur dengan deretan pegunungan yang sejajar garis pantai yang merupakan tulang punggungnya. Bagian leher, dada dibentuk oleh suatu garis pantai yang membujur dari daerah Kepala Burung kearah timur. Dibagian selatan terletak pulau Yos Sudarso (Kimaam) yang terpisah dari pulau besar Irian Jaya yang menyerupai lengan dinosaurus.
Orang Belanda menyebut pulau Irian dahulu yaitu Niew-Guinea oleh seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes (1545) yang menyebut “Neuva Guinea” (Guinea Baru). Penduduk Irian (Papua) yang berkulit hitam mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua Afrika (Naber, 1915: 527-533). Sebutan lain juga adalah “Papua” yang mula-mula dipakai oleh pelaut Portugis Antonio d’ Arbreu yang mengunjungi pantai Papua pada tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta pada waktu berada di laut Maluku pada tahun 1521. Kata “Papua” berasal dari kata Melalyu “Pua-pua” yang berarti “keriting” (Stirling, 1943: 4).
Dalam konferensi Malino 1946 nama “Irian” diusulkan oleh F. Kaisepo. Kata itu berasal dari bahasa Biak yang artinya “Sinar matahari yang menghalau kabut di laut”, sehingga ada “harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian. Pengertian lain dari kata ini juga pada orang Biak, bahwa Irian itu berasal dari dua kata yaitu “Iri” dan “an”. Iri berarti “panas” dan an berarti “tanah”. Jadi artinya tanah yang panas. Masyarakat Marind-anim di pantai selatan mengatakan kata Irian berarti “tanah air” Akhirnya presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Ciri dan Identitas Orang Papua

Orang Papua tidak pernah diteliti oleh para ahli mengenai cri-ciri ras. Hanya beberapa orang dokter dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan pengukuran tinggi badan dan indeks ukuran tengkorak pada beberapa individu dibeberapa tempat yang terpencar. Bahan-bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang ciri-ciri fisik masyarakat di Papua. Menurut H.J.T. Bijlmer (1923). Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai makin pendek tubuhnya, demikian pula bentuk tengkorak penduduk pantai umumnya lonjong dan makin kearah pedalaman bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka pada beberapa penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak jarang pula ada orang pantai yang panjang bentuk mukanya, dan didaerah pedalaman keadaannyapun sama (Koentjaraningrat, 1993). Seorang ahli ragawi Belanda J.P. Kleiweg de Zwaam mengatakan bahwa suatu “ras papua” atau “ras Irian” itu tidak ada. memang diantara penduduk papua sendiri ada perbedaan ciri-ciri ras khusus. Kebinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-ciri ras fenotip mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun dalam hal ini tidak ada keseragaman. Warna rambut orang papua hampir semuanya hitam tetapi tidak semuanya keriting. Penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang berombak dan bahkan ada pula yang lurus, sedang ada pula yang lurus dan kejur (Neuhauss, 1911).

referensi :

Rabu, 29 Juni 2011

DAMPAK SAMPAH TERHADAP MASYARAKAT INJROS KOTA JAYAPURA

Keindahan Kampung Injros dari Puncak Skayland Kota Jayapura
Kota Jayapura merupakan kota yang berpenduduk heterogen yang dimana juga masyarakat asli setempat masih bertempat tinggal. Antara lain kampung Injjros berada di daerah teluk yang dikatakan sebagai teluk yotefa dan diapit oleh dua distrik yaitu distrik Jayapura Selatan dan distrik Abepura yang berpenduduk cukup padat. Dengan bermata pencaharian nelayan masyarakat Injjros berusaha untuk mempertahankan mata pencaharian mereka ini selain berkebun dan berburu. Karena menurut para ahli lebih dari 50% dari ikan diseluruh dunia memang hidup dalam berbagai kawanan sampai beribu-ribu jumlahnya, pada jarak diantara 30 sampai 10 Km. dari pantai (Koentjaraningrat 1992 : 33). Pada musim-musim tertentu kawanan ikan malahan lebih mendekati pantai lagi dan masuk kedalam teluk untuk mencari air tenang untuk bertelur. Ini yang menyebabkan masyarakat Injros menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian utama mereka sehari-hari.
kampung Injjros mempunyai ketertarikan tersendiri jika di pandang dari ketinggian Skyland jayapura. tetapi dengan adanya pembuangan sampah yang kurang teratur dari masyrakat yang bertempat tingal di kota Jayapura atau terlebih khusus di distrik Abepura ini dapat berpengaruh pada system mata pencaharian masyarakat Injros pada umumnya. Karena letak kampung Injjros dan tempat mereka mencari tidak jauh dari kota Jayapura atau distrik Abepura. Ini jelas nampak jika kita berjalan-jalan ke salah satu tempat yaitu dermaga teluk yotefa diamana tempat ini merupakan tempat berlabunya motor jonson yang digunakan masyarakat asli Injjros. Di sekitar tempat ini kita dapat melihat dengan jelas sampah-sampah yang telah berserakan dipinggir-pinggir teluk ini dan kita juga dapat mencium bau yang tidak sedap jika air surut. 
Hal ini telah diresahkan para masyarakat asli Injros kepada pemerintah namun tidak ada tanggapan yang serius terhadap hal ini. Hingga sekarang para warga khususnya para warga yang berkerja sebagai nelayan mereka merasakan imbasnya sampah kepada mereka, karena dahulunya tempat yang mereka gunakan sebagai tempat mereka mencari kini telah penuh dengan sampah dan susah untuk mencari ikan.