Rabu, 21 September 2011

Refleksi sejarah: Pertanian dan Antropologi

Di masa lampau, sekitar dasawarsa 70-an dan 80-an, orientasi pengembangan program-program Uncen mengacu kepada pengembangan tanaman-tanaman pertanian asli (ubi jalar, talas dsb.) yang inherent dengan pembangunan pedesaan (suku-suku asli Papua di kampung-kampung pedalaman). Hal tersebut tersirat dan tersurat jelas dalam Pola Ilmiah Pokok (PIP) Universitas Cenderawasih pada waktu itu yaitu Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian. Sejak awal pembangunan Tanah Papua, telah diketahui pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang perlu dijabarkan bersama-sama dengan Kajian-kajian Pertanian  dalam rangka meningkatkan taraf hidup Masyarakat Asli di Papua.  
Relevansi dan implikasi Antropologi dan Pertanian dalam Pembangunan Tanah Papua dijelaskan dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987), pada Bab Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000  (1987) oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31) yang saya kutip:
 " ............  Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut mewarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya. 
 Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya berjauhan dan kondisi sosio-budaya penduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam ….
 Berkaitan dengan prevalensi pertanian bahan pangan asli Papua (ubijalar, keladi dan sagu) pada masa itu Universitas Cenderawasih menyelenggarakan berbagai kegiatan di mana Institut Pertanian Bogor turut berperan.  Dapat dikisahkan antara lain hal-hal berikut. 
Salah seorang peneliti dari IPB, Sdr Dr Ir Fred Rumawas, terlibat dalam penelitian pemuliaan tanaman petatas (ubi jalar) di daratan tinggi Baliem, dalam upaya memperoleh strain  ubi jalar yang lebih  tinggi kandungan proteinnya (> 3 persen).  Hipotesis bahwa petatas di dataran tinggi (800 - 1600 m dpl.) merupakan makanan pokok orang asli Papua sedangkan tidak ada jenis makanan sumber protein lainnya, kecuali ternak babi yang hanya dikonsumsi pada peristiwa-peristiwa khusus. Hal ini berarti penduduk pedalaman dataran tinggi Baliem sebagian besar mengandalkan protein dalam gizinya dari kandungan protein dalam ubi jalar. 
Selanjutnya, staf Uncen Manokwari (sekarang UNIPA) Sdr Dr Ir Sunarto (S2 dari Agronomi IPB), lebih mengkhususkan penelitiannya kepada jenis-jenis kastela (keladi), makanan pokok orang asli Papua yang hidup di lereng-lereng pada ketinggian 300 – 800 m dpl.
Di dataran rendah, daerah pantai dan rawa (< 300 m dpl.). sagu dianggap sangat penting karena merupakan makanan pokok bagi penduduk asli Papua.  Banyak di antara peneliti Uncen Jayapura maupun Uncen Manokwari terlibat dalam kajian-kajian masalah sagu, baik dari aspek sosio-antropologi, maupun teknis pertaniannya.  Proyek Sagu Nasional di era Prof Dr B J Habibie menjabat Menristek, berdasarkan survei-survei yang dilakukan pada masa itu menempatkan Papua sebagai daerah yang memiliki potensi sagu paling besar di Indonesia, diikuti propinsi Riau.  Proyek sagu ini diketuai oleh Prof Dr Achmad Satari (mantan Rektor IPB).  
Arsip Agrarisch Proefstation Manokwari (sekarang menjadi bagian dari Universitas Papua) menunjukkan bahwa peneliti pertanian Belanda pada masa penjajahan telah mencanangkan ”polder plan rice estate” di daerah Merauke pada awal dasawarsa 1960-an. Di dataran rendah Merauke juga di masa Gubernur (Almarhum) Drs Busiri (tahun 1980-an) pernah direncanakan pembangunan perkebunan tebu, karena keadaan iklim musimnya (monsoon) dan topografi yang cocok untuk itu.
Penelitian Antropologi dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan dilakukan di banyak daerah pedalaman Tanah Papua oleh tenaga UNCEN-SIL (kerjasama Universitas Cenderawasih dengan The Summer Institute of Linguistics, 1976 – 1990).    
Itulah sekilas lintasan masa lampau -- kiprah pembangunan yang dilakoni Universitas Cenderawasih yang saya anggap perlu diungkap – bukan untuk rujukan atau acuan kita  melangkah ke depan tetapi  sebagai bagian dari catatan sejarah pembangunan Tanah Papua. Pembangunan adalah perubahan dan kita tidak perlu merujuk masa lampau, tapi kita tetap bertumpu pada apa yang  telah dimulai.
Kini keberhasilan pembangunan di Tanah Papua sudah mulai tampak walaupun mungkin masih sangat jauh dari harapan. Hal yang menonjol terutama adalah peran putra daerah dalam kepemimpinan yang semakin prevalen, suasana perkotaan semakin ramai dan tampak lebih baik kondisi ekonominya, namun masyarakat rural di kampung-kampung pedalaman masih belum banyak terjamah pembangunan.  Inilah kenyataan yang menjadi perhatian utama kita – bagaimana memberdayakan masyarakat rural yang miskin, menjadikan mereka warga yang industrious dan mandiri.

Selasa, 20 September 2011

Cerita Banjir (Air Bah) Di Wandamen Catatan : Ini Adalah Sinopsis Dari Cerita Rakyat Yang Ditemukan Ongkodharma Pada Tahun 1983.


Pada suatu ketika hiduplah seorang wanita muda bernama Indorani. Hidupnya sederhana dan sebelum bersuami, ia hamil. Pada suatu hari yang indah ketika burung0burung sedang berkicau, indorani melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan menamakannnya Manawasi.
Pada hari yang ketiga, langit sangat gelap dan guntur menggelegar. Awan-awan berkumpul dan dimana-mana sangat gelap. Gelegar guntur terdengar dari seluruh bumi gelap dan hujan deras turun. Sungai-sungai mulai meluap dan orang mulai ditenggelamkan oleh air. Orang berbondong-bondong naik semakin tinggi. Banyak korban karena air yang mengganaskan itu.
Di daerah yang paling tinggi ada pohon raksasa yang berdiri kokoh. Pohon ini lebih tinggi dari pada air bah. Di pohon inilah Indorani dan dua orang temannya tergantung dengan selamat. Satu temannya adalah burung Cenderawasih dan satunya lagi adalah roh hidup yang berbentuk seekor  burung besar yang tidak ada namanya. Burung Cenderawasih dengan setia menolong Indorani dan mengambilkannya makanan dan air minum sedangkan burung yang besar itu melindunginya dari hujan dan angin ribut.
Setelah 40 hari dan 40 malam, matahari mulai menyinari daerah sekeliling yang menakutkan itu. Matahari bersinar terang dan angin mulai meniup ke seluruh penjuru dunia. Air bah itu menurun dan sedikit dan demi sedikit tanah di bawah pohon raksasa itu menjadi kering. Daerah ini disebut Sobiar. Indorani hamil anak keduanya lagi. Ketika waktunya hendak melahirkan, dia turun dari pohon. Di bawah pohon yang aman itu, dia melahirkan anaknya yang diberi nama Surui.
Dekat tempat itu ada gunung bernama Orbuan atau gunung karang, pada waktu itu  di atas gunung ini medarat sebuah kapal besar bernama Waipori yang mendarat ketika ketika air bah turun. Di kapal itu bekerja Tubopi dan isterinya Wisopi. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki yang sudah menikah dan berkeluarga.
Ketika air bah menanti, mereka semua keluar dengan banyak pasangan binatang yang juga berada di kapal itu. Kapal itu juga membawa banyak makanan untuk setiap binatang dan manusia. Ketika mereka meninggalkan kapal itu, mereka sangat ribut sehingga terdengar oleh Indorani. Mereka semuanya bertemu di kapal yang bernama Waipori. Tubopi bersukacita melihat Indorani dan memintanya tinggal dengan mereka. Indorani menerima itu tawaran itu dan menjadi bagian dari keluarganya. Mereka hidup damai dan sentosa selama-lamanya.

Sumber : Kelompok Peneliti Etnografi 1993; Etnografi Irian Jaya “panduan social budaya”.